BAB 21
PENINGKATAN PENGELOLAAN BUMN
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah
satu pelaku kegiatan ekonomi yang penting di dalam perekonomian nasional, yang
bersama-sama dengan pelaku ekonomi lain yaitu swasta (besar-kecil,
domestik-asing) dan koperasi, merupakan pengejawantahan dari bentuk bangun
demokrasi ekonomi yang akan terus kita kembangkan secara bertahap dan
berkelanjutan. Sebagai salah satu pelaku kegiatan ekonomi, keberadaan BUMN
memiliki peran yang tidak kecil guna ikut mewujudkan kesejahteraan masyarakat
sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Untuk itu, BUMN paling tidak diharapkan
(1) dapat meningkatkan penyelenggaraan kemanfaatan umum berupa penyediaan
barang dan jasa dalam jumlah dan mutu yang memadai bagi pemenuhan hajat hidup
orang banyak; (2) memberikan sumbangan kepada penerimaan negara; dan (3)
meningkatkan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional. Untuk
mengoptimalkan keberadaan BUMN itu, langkah pengembangan dan pembinaan BUMN
secara umum diarahkan untuk dapat menyinergikan kebijakan industrial dan pasar
tempat BUMN tersebut beroperasi dengan kebijakan restrukturisasi dan internal
perusahaan sesuai dengan potensi daya saing perusahaan.
I. Permasalahan yang Dihadapi
Secara umum, kinerja BUMN telah menunjukkan adanya
peningkatan. Namun, peningkatan kinerja itu harus diakui masih belum optimal.
Sebagai contoh, pada tahun 2004 terdapat 127 BUMN yang mencatat laba dengan
jumlah sekitar Rp29 triliun. Namun, 70 persen dari keuntungan tersebut hanya
dihasilkan oleh 5 BUMN. Di samping itu, jika dilihat dari indikator kinerja
BUMN, peningkatan yang ada dirasakan belum mantap dan belum berkesinambungan.
Angka tingkat hasil aset (return on asset)/(ROA) misalnya, dari tahun ke
tahun perkembangannya belum berlangsung secara konsisten. Pada tahun 2001,
rata-rata ROA BUMN mencapai 2,28 persen, dan meningkat menjadi 2,74 persen pada
tahun 2002. Namun, angka ini turun menjadi 2,20 persen pada tahun 2003, dan
diperkirakan meningkat lagi menjadi 2,49 persen pada tahun 2004.
Dengan kinerja demikian, di samping mempersulit
BUMN untuk dapat berperan utuh dalam memberikan sumbangan bagi perkembangan
perekonomian nasional, masih ada potensi BUMN untuk membebani fiskal yang dapat
mempengaruhi upaya mempertahankan kesinambungan fiskal.
Belum optimalnya kinerja pengelolaan BUMN itu,
antara lain, disebabkan oleh masih lemahnya koordinasi kebijakan antara langkah
perbaikan internal perusahaan dan kebijakan industrial serta pasar tempat
beroperasinya BUMN tersebut, belum terpisahkannya fungsi komersial dan
pelayanan masyarakat pada sebagian besar BUMN, dan belum terimplementasikannya
prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) secara
utuh di seluruh BUMN. Di samping itu, belum utuhnya kesatuan pandangan dalam
kebijakan restrukturisasi dan privatisasi di antara para pemilik kepentingan (stakeholders), berpotensi memberikan
dampak negatif dalam pelaksanaan dan pencapaian kebijakan yang ada.
II. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Salah satu pilar utama
kebijakan pembinaan dan pengembangan BUMN adalah upaya restrukturisasi
perusahaan yang sinergi dengan kebijakan industrial dan pasar tempat
beroperasinya BUMN itu. Restrukturisasi itu diharapkan dapat meningkatkan nilai
serta daya saing perusahaan. Selama tahun 2004 telah dilakukan langkah awal restrukturisasi terhadap
beberapa BUMN, seperti BUMN sektor perikanan dan BUMN sektor penerbangan, yaitu
dalam bentuk pengkajian terhadap rencana merger. Langkah itu dilakukan agar
tindak lanjut restrukturisasi berikutnya akan lebih efisien dan efektif.
Secara keseluruhan upaya keras Pemerintah untuk
meningkatkan nilai perusahaan telah menunjukkan hasil yang baik. Jumlah BUMN
yang sehat telah meningkat jika dibanding dengan tahun sebelumnya, yaitu dari
92 perusahaan pada tahun 2003 menjadi 120 perusahaan pada tahun 2004. Dari sisi
perolehan laba, kinerja BUMN menunjukkan adanya peningkatan, yaitu dari 158
BUMN yang dimiliki Pemerintah (2004), tercatat sebanyak 127 BUMN mampu mencetak
laba. Jumlah itu jauh meningkat dari 103 BUMN di tahun 2003. Di samping
meningkatnya jumlah BUMN yang mencetak laba, jumlah laba yang dihasilkan juga
menunjukkan peningkatan. Total keseluruhan laba yang dihasilkan pada tahun 2004
adalah sebesar Rp29,43 triliun atau meningkat 15 persen jika dibanding dengan
tahun sebelumnya. Kinerja yang meningkat itu juga didukung dengan semakin
menurunnya kerugian yang dialami BUMN. Untuk tahun 2004 total kerugian turun
sekitar 26 persen jika dibanding dengan tahun 2003 yaitu dari Rp6,1 triliun
pada tahun 2003 turun menjadi Rp4,5 triliun pada tahun 2004. Jumlah dividen
yang disumbangkan kepada negara juga meningkat yaitu sebesar Rp7,9 triliun pada
tahun 2003 menjadi Rp 8,75 triliun pada tahun 2004 atau mengalami peningkatan
sebesar 10 persen. Namun, apabila dibandingkan dengan target untuk tahun 2004
yang sebesar Rp10,19 triliun, jumlah
dividen dicapai hanya sebesar 85,84 persen saja.
Sementara itu, khusus untuk BUMN perbankan,
meskipun saat ini tengah berada di dalam sorotan masyarakat sehubungan dengan
kasus-kasus yang dialami oleh BUMN perbankan, kinerja BUMN perbankan tahun buku
2004 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun buku 2003 yang
tercermin dari peningkatan laba bersih, posisi (outstanding) kredit dan beberapa nisbah keuangan lainnya.
Peningkatan outstanding kredit
tersebut mencerminkan bahwa fungsi intermediasi perbankan, khususnya bank-bank
BUMN telah berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sebagai gambaran, jumlah laba
bersih lima bank BUMN (Mandiri, BNI, BRI, BTN dan BEI) tahun buku 2004 sebesar
Rp12,58 triliun, meningkat sebesar Rp4,16 triliun atau 49,44 persen jika
dibandingkan dengan laba tahun buku 2003 sebesar Rp8,42 triliun. Sementara itu,
outstanding kredit bruto (sebelum
dikurangi penyisihan) posisi akhir tahun buku 2004 sebesar Rp233,06 triliun,
meningkat sebesar Rp47,96 triliun atau 25,91persen jika dibandingkan dengan
posisi akhir tahun 2003 sebesar Rp185,10 triliun. Ekspansi kredit tersebut
tetap berpedoman pada prinsip praktik perbankan prudential (prudential banking practices), terlebih
dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/ PBI/2005 tanggal 20
Januari 2005 yang pada prinsipnya industri perbankan diminta untuk mengelola
risiko kredit dan meminimalkan potensi risiko kerugian.
Selanjutnya, di samping melakukan restrukturisasi,
pemerintah juga melakukan kebijakan privatisasi. Langkah itu dipilih selain
ditujukan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham juga ditujukan untuk
memenuhi amanat UU No. 28 Tahun 2003 tentang APBN Tahun Anggaran 2004 khususnya
Pasal 12 ayat (2) yang menyebutkan bahwa salah satu sumber pembiayaan defisit
anggaran tahun 2004 adalah melalui privatisasi yang ditargetkan sebesar Rp5
triliun. Dari target itu, pada tahun 2004 realisasi privatisasi mencapai
Rp3,455 triliun atau sebesar 69,10 persen dari nilai yang telah ditargetkan.
Sementara itu, jumlah BUMN yang diprivatisasi hanya terealisasi sebanyak 4 BUMN
dari 10 BUMN yang ditargetkan, yaitu PT Pembangunan Perumahan, PT Adhi Karya,
PT Bank Mandiri dan PT Tambang Batubara Bukitasam.
Langkah restrukturisasi
ataupun privatisasi yang dilakukan tersebut harus pula diiringi dengan upaya
peningkatan penerapan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang transparan,
mandiri, akuntabel, bertanggung jawab dan berkewajaran. Untuk itu dalam rangka
memantapkan pelaksanaan Good Corporate
Governance (GCG) selama tahun 2004 telah dilaksanakan penandatanganan Statement
of Corporate Intent (SCI) oleh 75 perusahaan yang merupakan wujud dari
transparansi pengelolaan usaha oleh BUMN. Sebagai tindak lanjutnya, terus
dilakukan pemantauan dan penilaian, antara lain, melalui audit pelaksanaan GCG,
peninjauan temuan auditor GCG, dan pemasukan unsur-unsur tersebut dalam key performance indicator’s (KPI)
penilaian kinerja Direksi dan Komisaris BUMN yang bersangkutan.
Untuk memenuhi
Pasal 18 UU BUMN, yang mengatur persyaratan dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian anggota direksi, telah dikeluarkan Keputusan Nomor
Kep-09A/MBU/2005 yang mengatur pengangkatan anggota Direksi BUMN melalui uji
kepatutan dan kelayakan (fit and proper
test) calon anggota Direksi BUMN yang intinya lebih mengutamakan kemampuan profesional
seimbang dengan penilaian moral dan etika. Pelaksanaan uji kepatutan dan kelayakan
itu tidak lepas dari Inpres Nomor 8 Tahun 2005 yang telah diubah menjadi Inpres
Nomor 9 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anggota Direksi dan/atau
Komisaris/Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara. Dengan adanya ketentuan itu,
diharapkan BUMN akan dikelola oleh putra-putri terbaik bangsa ini sehingga pada
akhirnya akan menciptakan BUMN yang berkinerja baik pula.
Selanjutnya, untuk mendukung program pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di lingkungan BUMN, telah dilakukan
sosialisasi Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
kepada BUMN dan meminta BUMN agar menyampaikan laporan perkembangan upaya
pemberantasan KKN di BUMN masing-masing.
Kemudian, Pemerintah menindak-lanjuti setiap informasi yang diterima berkaitan
dengan adanya indikasi KKN di BUMN dengan melakukan pengecekan mengenai
kebenaran atas laporan dimaksud, terutama kepada pihak Direksi dan Komisaris
BUMN yang bersangkutan.
Salah satu tujuan dan
maksud pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan
kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat. Untuk itu
sebagai wujud kepedulian BUMN kepada masyarakat, pelaksanaan program kemitraan BUMN tahun 2004 telah dilakukan
dengan baik. Beberapa indikator yang dapat menggambarkan keberhasilan program
tersebut adalah jumlah dana yang disalurkan sebesar Rp603 miliar yang terdiri
atas Rp232 miliar digunakan untuk pinjaman, sebesar Rp127 miliar dalam bentuk
hibah, dan selebihnya untuk biaya lain-lain.
Kesamaan visi antara
Kementerian BUMN dan manajemen BUMN akan menentukan keberhasilan pelaksanaan
program pembinaan dan pengembangan BUMN. Untuk itu pada tanggal 25–26 Januari 2005 telah
dilaksanakan BUMN Summit dengan
tema, “Peningkatan Nilai melalui
Peningkatan Produktivitas dan Efisiensi Perusahaan-Perusahaan Berbasis Sumber
Daya Alam”. Acara itu dihadiri oleh manajemen seluruh BUMN di Indonesia.
Dengan BUMN Summit ini
diperkenalkan Rencana Induk Revitalisasi BUMN 2005–2009 kepada seluruh jajaran
BUMN, baik kepada direksi maupun kepada komisaris. Secara umum, sesuai Rencana
Induk ini fokus pembinaan BUMN ke depan lebih dititikberatkan kepada langkah
restrukturisasi dan profitisasi yang sinergi dengan kebijakan industrial dan
pasar tempat beroperasinya BUMN itu. Dengan diperkenalkannya Rencana Induk itu,
diharapkan dapat menjadi arahan/pijakan tentang pengelolaan BUMN ke depan.
Melalui BUMN Summit ini pula,
Pemerintah ingin mendapatkan masukan dari berbagai pihak, terutama dari
manajemen BUMN, agar nantinya dapat berguna bagi penyempurnaan isi Rencana
Induk Revitalisasi BUMN 2005–2009, yang saat ini sedang dalam proses
penyelesaian.
Di samping itu, pada masa 100 hari pemerintahan
Kabinet Indonesia Bersatu, telah diupayakan percepatan penyelesaian beberapa
masalah, antara lain, penanganan masalah PHK massal di PT Dirgantara Indonesia,
penanganan masalah penjualan tanker VLCC Pertamina, masalah pemutusan kontrak
Kahara Bodas Company, dan pembukaan ruang negosiasi dengan Cemex dalam kasus
Semen Gresik. Beberapa masalah itu telah diselesaikan, tetapi masih ada yang perlu untuk ditangani lebih lanjut.
III. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Ke depan, perlu dilakukan secara bertahap dan
berkelanjutan kebijakan reformasi BUMN yang menyelaraskan secara optimal
kebijakan internal perusahaan dan kebijakan industrial serta pasar tempat
beroperasinya BUMN itu, memisahkan fungsi komersial dan pelayanan masyarakat
pada BUMN, serta mengoptimalkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang
baik (good corporate governance)
secara utuh dalam rangka revitalisasi BUMN. Dalam rangka pelaksanaan
ketiga kebijakan ini, untuk tahun 2005 dan tahun-tahun berikutnya, langkah
tindak lanjut yang akan dilakukan antara lain:
1)
meningkatkan upaya revitalisasi bisnis
yaitu meningkatkan nilai pemegang saham (shareholder value) BUMN yang ada;
2)
meningkatkan efektifitas manajemen
BUMN, baik di tingkat komisaris, direksi, maupun karyawan;
3)
meningkatkan kualitas operasi,
pelayanan dan pendapatan BUMN;
4)
menyempurnakan sistem pengadaan barang
dan jasa di lingkungan BUMN sehingga tercipta tingkat efisiensi yang semakin
tinggi;
5)
melanjutkan pelaksanaan
restrukturisasi, termasuk pemetaan secara bertahap masing-masing BUMN di
berbagai sektor;
6)
meningkatkan sosialisasi tentang
privatisasi BUMN di semua pemilik kepentingan (stakeholders) agar pelaksanaan privatisasi menghasilkan pendapatan
yang optimal; dan
7)
melanjutkan privatisasi BUMN. Kebijakan privatisasi akan lebih
ditujukan untuk meningkatkan nilai perusahaan (value creation) dan daya saingnya di pasar global tanpa mengabaikan
pemenuhan anggaran untuk APBN. Dengan demikian maka program privatisasi akan
lebih mengutamakan peningkatan pendapatan negara dibanding hanya sekedar
pemenuhan kewajiban setoran ke APBN. Setoran ke APBN akan dipacu melalui
peningkatan deviden perusahaan dan pajak.
0 komentar:
Posting Komentar