FILSAFAT EKONOMI ISLAM
OLEH :
Moh. Fauzi, SE., MM
A. PENDAHULUAN
Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan
sederhana menuju pada pembenaran ilmu pengetahuan sehingga menjadi ilmu
pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses sehingga ilmu pengetahuan (science
atau sains) dapat dibangun. Landasan dan proses pembangunan ilmu pengetahuan
itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang dilibatkan pada proses
pembangunan ilmu pengetahuan (Ash-Shadr 1995). Dalam pembangungan ilmu
pengetahuan juga diperlukan beberapa tiang penyangga agar ilmu pengetahuan
dapat menjadi sebuah paham yang mengandung makna universalitas. Beberapa tiang
penyangga dalam pembangunan ilmu pengetahuan itu sebenarnya berupa penilaian
yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi (Jujun 1990: 2).
Perlunya penilaian dalam pembangunan ilmu pengetahuan alasannya adalah agar
pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan dapat diterima sebagai
pembenaran secara umum. Sampai sejauh ini, didunia akademik anutan pembenaran
ilmu pengetahuan dilandaskan pada proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena
itu, proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-cara tersendiri sehingga
dapat dijadikan pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmiah.
Dengan alasan itu berpikir ilmiah dalam ilmu pengetahuan harus mengikuti cara
filsafat pengetahuan atau epistemologi, sementara dalam epistemologi dasar yang
menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah disebut
filsafat ilmu (Didi 1997: 3).
B. PERAN
FILSAFAT ILMU DALAM ILMU PENGETAHUAN
Kemampuan rasional dalam proses berpikir
dipergunakan sebagai alat penggali empiris sehingga terselenggara proses
“create” ilmu pengetahuan (Hidajat 1984a). Akumulasi penelaahan empiris dengan
menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat
menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan
tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak
pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga
dalam pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan
ilmiah dengan pengetahuan yang rasional. Oleh sebab itu, hakikat berpikir
rasional sebenarnya merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga
kecenderungan berpikir rasional ini menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan
jawaban yang dapat dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis
yang merupakan jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat kecenderungan
berpikir secara rasional, maka dengan meningkatnya intensitas penelitian maka
kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada kecenderungan berpikir
secara empiris. Dengan demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara
berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya
merupakan implementasi dari metode ilmiah (Jujun 1990).
Kematangan berpikir ilmiah sangat
ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang
didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada
kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh
rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat
dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra
rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin
kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas
merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan (Hidajat 1984b).
Dogma yaitu kepercayaan atau sistem
kepercayaan yang dianggap benar dan seharusnya dapat diterima oleh orang ramai
tanpa sebarang pertikaian atau pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal
yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan. Paradigma ialah
lingkungan atau batasan pemikiran pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh
pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan kesadaran yang ada atau model dalam
ilmu pengetahuan, kerangka berpikir (Kamus Dewan 1994: 311 & 978) dan
(Kamus Umum Bahasa Indonesia 1995: 239 & 729). Dari terminologi di atas
dogma dan paradigma sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma
merupakan kata lain dari paradogma atau dogma primer. Dogma primer ialah
prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya sudah tidak
dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau benar dengan sendirinya
(Hidajat 1984a). Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam
membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya
rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang
dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif
maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai
kesahihan. Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi
yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya.
Kearifan memperbaiki paradigma ilmu
pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan
tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri,
tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia. Oleh karena itu kita
tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang oleh dirinya sendiri,
jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya kita telah berupaya
memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab permasalahan
kehidupan. Hal ini perlu dipahami secara bijak karena permasalahan kehidupan
saat ini sudah mencapai pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis yang
kompleks dan multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak pada
seluruh aspek kehidupan (Capra 1999). Dengan demikian jika kita mempertanyakan
penyesuaian apa yang dapat dilakukan ilmu pengetahuan dengan kenyataan
kehidupan (realitas), maka perubahan paradigma ilmu pengetahuan merupakan
jawaban untuk mengatasi krisis yang cukup serius (Kuhn 1970).
C. PENDEKATAN
ISLAMI DALAM EKONOMI
Kesadaran manusia mengenai krisis merupakan
awal memahami hakikat kemunduran. Kemunduran tidak harus selalu dimaknai
negatif dan pesimis, akan tetapi yang paling penting dapat mengambil makna
positif dan optimis atau hikmah dibalik krisis. Kemunduran dalam kehidupan
masyarakat dapat kita lihat pada revolusi dan krisis sosial yang berkecamuk
dimana-mana terutama krisis perekonomian (Hasan 1991), krisis ekonomi merupakan
krisis yang paling banyak dirasakan oleh kebanyakan manusia karena krisis
ekonomi sangat menyentuh keperluan dasar manusia pada aspek biologis,
sosiologis dan moral (Chapra 1999). Sebenarnya terjadinya krisis ekonomi
diakibatkan oleh ilmu ekonomi sudah terperangkap dalam krisis yang sangat
parah, upaya perbaikannya bukanlah sebatas pada usaha penafsiran teori ekonomi
baru ataupun beberapa perubahan dalam lingkungan paradigma ilmu ekonomi,
melainkan paradigma itu sendiri hendaklah dirombak semula kearah paradigma
baru. Masalah ekonomi bukan lagi masalah yang saling terpisah dengan masalah sosial
lainnya, akan tetapi ekonomi sekarang harus dikembangkan kearah konteks kajian
keseluruhan sistem sosial (Ahmad 1992).
Salah satu implikasi yang perlu
diperhatikan pada filsafat ilmu dalam memfasilitasi penciptaan ilmu pengetahuan
yaitu aspek metodologi. Hasan Langgulung (1991) berpendapat bahwa membicarakan
metodologi berarti berbicara tentang cara-cara atau metode-metode yang
digunakan manusia untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran, baik dalam
sebagian aspek maupun keseluruhan. Sebelum membahas metodologi yang diperlukan
dalam mencipta ilmu pengetahuan, pertama sekali yang perlu dibicarakan ialah
pembahasan manusia sebagai kutub subjektif dari pengetahuan (subjek yang
mengetahui). Kutub subjektif ini terdiri dari seluruh kemampuan mengetahui manusia
yang sanggup memiliki berbagai tingkat kesadaran. Seluruh kemampuan mengetahui
manusia yang ada pada kutub subjektif itu tiada lain sebenarnya diperuntukan
untuk mengenal dan menelaah jagat raya sebagai kutub objektif yang memiliki
wujud yang beraneka tingkat. Oleh karena itu, metodologi yang dikembangkan
harus diarahkan kepada usaha manusia mencari hubungan antara kemampuan
mengetahui manusia pada berbagai tingkat kesadaran dengan wujud jagat raya yang
memiliki berbagai tingkat pula.
Menelaah makna yang terkandung dalam
Al-Qur`an dapat dilakukan melalui penelaahan agama yang diinginkan Al-Qur`an.
Di dalam Al-Qur`an dalam Surah Ali Imran ayat 19 dinyatakan bahwa sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Menurut pendapat Nik Mustapha
(1992) Islam sebagai agama merupakan satu cara hidup yang lengkap serta
komprehensif, mencakup segala aspek kehidupan individu, masyarakat dan negara.
Dengan kata lain, Islam mencakup berbagai nilai budaya dan peradaban,
mengandung norma-norma hukum dan nilai-nilai sosial serta meliputi moralitas
dan etika yang sangat tinggi (Tarmana 1993). Begitu luasnya cakupan Islam pada
berbagai aspek kehidupan diharapkan dapat memberikan jalan keluar yang lengkap
pada krisis kehidupan yang terjadi. Dengan demikian sebenarnya garis besar
tujuan Qur`an ialah hendak menyadarkan adanya keinsyafan batiniah yang lebih
tinggi dalam diri manusia dalam hubungannya yang serba ragam dengan Tuhan dan
alam semesta (Iqbal 1966:10).
Kalaupun ada penamaan perubahan sandaran dogma relatif
menuju pada dogma mutlak dalam ilmu pengetahuan, menurut Anees dan Davies
(1995) ilmu pengetahuan itu disebut sains Islam. Sains Islam yang muncul
kepermukaan bukanlah sebuah reorientasi sains Barat ataupun pengekoran,
sementara sains Islam merupakan entitas pada dirinya sendiri, tidak terbatas
hanya membandingkan dan memperbaiki sains yang sudah ada. Lahirnya sains Islam
sebenarnya merupakan bagian dari keseluruhan Islam sebagai sebuah jalan hidup
yang lengkap, sehingga dengan kelengkapannya Islam dapat dijadikan satu-satunya
paradigma dimana sains itu sendiri dapat didefinisikan sesuai dengan keinginan
awal (bermanfaat bagi kehidupan). Kehidupan sains tidak dapat dipisahkan dari
arus utama panorama intlektual dan moral Islam sehingga dapat membuahkan suatu
pandangan dunia dalam keseluruhan kerangka nilai-nilai Islam.
D. SOLUSI
KRUSIAL
Nik Mustapha (1992) berpendapat bahwa
kajian bidang ekonomi adalah membicarakan tingkah laku manusia khususnya
sebagai konsumen (user), distributor dan produsen. Sementara, yang dijadikan
pembicaraan utama dalam bidang ekonomi ialah tingkah laku manusia (human
behaviour), maka agar dapat memahami tingkah laku manusia langkah yang harus
dilakukan adalah menelusuri melalui filsafat dan sikap hidup yang dianut oleh
manusia (Siddiqi 1996). Dalam ilmu ekonomi sekarang (yaitu ilmu ekonomi
“barat”) walaupun perjalanannya telah melalui proses yang panjang hasilnya
semakin mengantarkan manusia pada keadaan resah, renggut dan rusak (QS. 57:20)
bukan pada keadaan hasanah (QS. 2:201) yang dapat mengantarkan manusia mencapai
keadilan dan kemakmuran dunia dan akhirat (Herman 1999). Selanjutnya Herman
Suwardi (1999) menjelaskan keadaan itu diakibatkan oleh ekonomi barat yang
mengabdi kepada kepentingan peribadi (self interest) dan bukannya mengabdi
kepada Allah SWT., ekonomi barat memakai landasan filsafat positivisme yang
menyebabkan manusia menjadi resah karena yang dicoba dibangun oleh positivisme
ialah nafs amarah terhadap evilness of human nature (QS. 12:53). Keresahan itu
mendorong manusia hidup dalam keadaan konflik sehingga dengan konflik kehidupan
itu manusia cenderung bersaing dalam memperoleh laba sebanyak-banyaknya (profit
maximum principle). Sementara, ekonomi yang berdasarkan Islam menganjurkan
manusia mengabdi kepada Allah SWT. (QS. 18:29) dengan memakai landasan iman dan
takwa, sehingga menjadikan manusia tenang (calmness of human nature).
Ketenangan itu mendorong manusia hidup dalam keadaan harmoni karena berdasarkan
keyakinan bahwa semua mu’min adalah saudara. Pembahasan Islam mengenai tingkah
laku manusia dengan sesama manusia terletak pada perilaku muamalah, sehingga
ukhuwah yang di lakukan manusia diarahkan menuju pada keadaan “competition for
achievement”. Oleh karena itu yang dicoba dibangun oleh ekonomi Islam ialah nafs
mutmainnah atau calmness terhadap akhlak (QS. 89:27-30). Dengan demikian
penggalian ekonomi Islam diharapkan dapat berperan dalam mendorong kehidupan
manusia pada persaingan berprestasi (fastabiqu al-khairati) dengan
mengedepankan pertambahan keuntungan (profit increase principle).
Pada bagian lain Manan (1997) menjelaskan
bahwa pembentukan perilaku manusia dalam negara berkembang dan kurang
berkembang dengan bentuk negara Islam ataupun mayoritas masyarakatnya beragama
Islam merupakan suatu proses yang menyakitkan. Hal itu terjadi karena motivasi
berusaha masyarakatnya lemah, sehingga dengan lemahnya semangat berusaha dapat
menghambat proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, untuk mempercepat
proses pembangunan ekonomi Islam diperlukan upaya penggalangan semangat usaha
yang berdasarkan nilai-nilai yang dipunyai Islam supaya manusia dapat mencapai
falah sebagai tujuan terakhir yang ingin dicapainya. Dengan demikian Mustapha
(1986) mengatakan bahwa perspektif Islam menghendaki dan berharap kepada peneliti
agar memasukan unsur moral-kerohanian sebagai sesuatu yang autonomous serta
berpengaruh ke atas kebendaan.
E. DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad , Khurshid. 1992. Kajian dalam
ekonomi Islam. Terj. Sibly Bin Maros & Amir Hussin Baharuddin. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Al-Buthi , Muhammad Sa’id Ramadhan. 1987.
Krisis ilmu pengetahuan dan pemecahannya dalam kehidupan pemikiran kontemporer
kita. Dlm. Abd. Al-Hamid Abu Sulaiman (pnyt). Permasalahan metodologis dalam
pemikiran Islam. Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Al-Qaradawi, Yusuf. 1998. Peranan nilai dan
akhlak dalam ekonomi Islam. Terj. Mufti Labib & Arsil Ibrahim. Kuala
Lumpur: Angkatan Belia Islam Malaysia.
Anees, Ahmad Munawar & Davies, Wyn
Merryl. Sains Islam: pemikiran mutakhir dan berbagai arah kecenderungan masa
depan. Jurnal Studi-Studi Islam Al-Hikmah. 15 (6): 72-85
As-Shadr, Muhammad Baqir. 1995.
Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali. Bandung:
Penerbit Mizan.
Chapra, M. Umer. 1999. Islam dan tantangan
ekonomi: islamisasi ekonomi kontemporer. Terj. Nur Hadi Ihsan & Rifqi Amar.
Surabaya: Risalah Gusti
Chapra, M. Umer. 1997. Islam dan
pembangunan ekonomi: satu strategi untuk pembangunan yang adil dan stabil. Terj. Adi Setia bin Mohd Dom. Malaysia: The International
Institute of Islamic Thought.
Didi Atmadilaga. 1997. Panduan: skripsi,
tesis, disertasi; penerapan filsafat ilmu, filsafat & etika penelitian,
struktur penulisan ilmiah, evaluasi karya ilmiah. Bandung: Pionir Jaya.
Hasan Langgulung. 1991. Kreativiti dan
pendidikan: suatu kajian psikologi dan falsafah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hidajat Nataatmadja. 1985. Kebangkitan
Al-Islam. Bandung: Risalah Bandung.
Iqbal, Muhammad. 1966. Membangun kembali
pikiran agama dalam Islam. Terj. Ali Audah, Taufik Ismail, Gunawan Mohamad. Jakarta:
Penertbit Titamas.
Jujun S. Suriasumantri. 1990. Ilmu dalam
pespektif moral, sosial dan politik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kahn, Waheeduddin. 1983. Islam menjawab tantangan zaman. Terj. A. Rafi`ie
Utsman. Bandung: Penerbit Pustaka.
Kuhn, S. Thomas. 1970. The stucture of
scientific revolutions. Ed. 2nd. Chicago:
The University of
Chicago Press.
Manan, Abdul. 1997. Teori dan praktek:
ekonomi Islam. Terj. M. Nastangin. Yogjakarta: P.T. Dana Bhakti Wakaf.
Mustapha Hj. Mohd. Jar. 1986. Konsep
manusia dari perspektif barat dan Islam. Dlm. Wan Hashim & Mahayudin Haji
Yahaya (pnyt). Sains sosial dari perspektif Islam. Bangi: Penerbit Universiti
Kebangsaan Malaysia.
2 komentar:
thanks
Untuk membaca lebih ringkas tentang filsafat ekonomi islam bisa lihat di Blog Saya
Posting Komentar