Senin, 15 Desember 2014

FILSAFAT EKONOMI ISLAM



FILSAFAT EKONOMI ISLAM
OLEH :
Moh. Fauzi, SE., MM


A.        PENDAHULUAN
Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan proses pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan (Ash-Shadr 1995). Dalam pembangungan ilmu pengetahuan juga diperlukan beberapa tiang penyangga agar ilmu pengetahuan dapat menjadi sebuah paham yang mengandung makna universalitas. Beberapa tiang penyangga dalam pembangunan ilmu pengetahuan itu sebenarnya berupa penilaian yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi (Jujun 1990: 2). Perlunya penilaian dalam pembangunan ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara umum. Sampai sejauh ini, didunia akademik anutan pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmiah. Dengan alasan itu berpikir ilmiah dalam ilmu pengetahuan harus mengikuti cara filsafat pengetahuan atau epistemologi, sementara dalam epistemologi dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah disebut filsafat ilmu (Didi 1997: 3).

B.        PERAN FILSAFAT ILMU DALAM ILMU PENGETAHUAN
Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai alat penggali empiris sehingga terselenggara proses “create” ilmu pengetahuan (Hidajat 1984a). Akumulasi penelaahan empiris dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang rasional. Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir rasional ini menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara rasional, maka dengan meningkatnya intensitas penelitian maka kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada kecenderungan berpikir secara empiris. Dengan demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya merupakan implementasi dari metode ilmiah (Jujun 1990).
Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan (Hidajat 1984b).
Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap benar dan seharusnya dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian atau pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan. Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan kesadaran yang ada atau model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir (Kamus Dewan 1994: 311 & 978) dan (Kamus Umum Bahasa Indonesia 1995: 239 & 729). Dari terminologi di atas dogma dan paradigma sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma merupakan kata lain dari paradogma atau dogma primer. Dogma primer ialah prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau benar dengan sendirinya (Hidajat 1984a). Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai kesahihan. Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya.
Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia. Oleh karena itu kita tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang oleh dirinya sendiri, jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya kita telah berupaya memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab permasalahan kehidupan. Hal ini perlu dipahami secara bijak karena permasalahan kehidupan saat ini sudah mencapai pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis yang kompleks dan multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan (Capra 1999). Dengan demikian jika kita mempertanyakan penyesuaian apa yang dapat dilakukan ilmu pengetahuan dengan kenyataan kehidupan (realitas), maka perubahan paradigma ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang cukup serius (Kuhn 1970).

C.        PENDEKATAN ISLAMI DALAM EKONOMI
Kesadaran manusia mengenai krisis merupakan awal memahami hakikat kemunduran. Kemunduran tidak harus selalu dimaknai negatif dan pesimis, akan tetapi yang paling penting dapat mengambil makna positif dan optimis atau hikmah dibalik krisis. Kemunduran dalam kehidupan masyarakat dapat kita lihat pada revolusi dan krisis sosial yang berkecamuk dimana-mana terutama krisis perekonomian (Hasan 1991), krisis ekonomi merupakan krisis yang paling banyak dirasakan oleh kebanyakan manusia karena krisis ekonomi sangat menyentuh keperluan dasar manusia pada aspek biologis, sosiologis dan moral (Chapra 1999). Sebenarnya terjadinya krisis ekonomi diakibatkan oleh ilmu ekonomi sudah terperangkap dalam krisis yang sangat parah, upaya perbaikannya bukanlah sebatas pada usaha penafsiran teori ekonomi baru ataupun beberapa perubahan dalam lingkungan paradigma ilmu ekonomi, melainkan paradigma itu sendiri hendaklah dirombak semula kearah paradigma baru. Masalah ekonomi bukan lagi masalah yang saling terpisah dengan masalah sosial lainnya, akan tetapi ekonomi sekarang harus dikembangkan kearah konteks kajian keseluruhan sistem sosial (Ahmad 1992).
Salah satu implikasi yang perlu diperhatikan pada filsafat ilmu dalam memfasilitasi penciptaan ilmu pengetahuan yaitu aspek metodologi. Hasan Langgulung (1991) berpendapat bahwa membicarakan metodologi berarti berbicara tentang cara-cara atau metode-metode yang digunakan manusia untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran, baik dalam sebagian aspek maupun keseluruhan. Sebelum membahas metodologi yang diperlukan dalam mencipta ilmu pengetahuan, pertama sekali yang perlu dibicarakan ialah pembahasan manusia sebagai kutub subjektif dari pengetahuan (subjek yang mengetahui). Kutub subjektif ini terdiri dari seluruh kemampuan mengetahui manusia yang sanggup memiliki berbagai tingkat kesadaran. Seluruh kemampuan mengetahui manusia yang ada pada kutub subjektif itu tiada lain sebenarnya diperuntukan untuk mengenal dan menelaah jagat raya sebagai kutub objektif yang memiliki wujud yang beraneka tingkat. Oleh karena itu, metodologi yang dikembangkan harus diarahkan kepada usaha manusia mencari hubungan antara kemampuan mengetahui manusia pada berbagai tingkat kesadaran dengan wujud jagat raya yang memiliki berbagai tingkat pula.
Menelaah makna yang terkandung dalam Al-Qur`an dapat dilakukan melalui penelaahan agama yang diinginkan Al-Qur`an. Di dalam Al-Qur`an dalam Surah Ali Imran ayat 19 dinyatakan bahwa sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Menurut pendapat Nik Mustapha (1992) Islam sebagai agama merupakan satu cara hidup yang lengkap serta komprehensif, mencakup segala aspek kehidupan individu, masyarakat dan negara. Dengan kata lain, Islam mencakup berbagai nilai budaya dan peradaban, mengandung norma-norma hukum dan nilai-nilai sosial serta meliputi moralitas dan etika yang sangat tinggi (Tarmana 1993). Begitu luasnya cakupan Islam pada berbagai aspek kehidupan diharapkan dapat memberikan jalan keluar yang lengkap pada krisis kehidupan yang terjadi. Dengan demikian sebenarnya garis besar tujuan Qur`an ialah hendak menyadarkan adanya keinsyafan batiniah yang lebih tinggi dalam diri manusia dalam hubungannya yang serba ragam dengan Tuhan dan alam semesta (Iqbal 1966:10).
Kalaupun ada penamaan perubahan sandaran dogma relatif menuju pada dogma mutlak dalam ilmu pengetahuan, menurut Anees dan Davies (1995) ilmu pengetahuan itu disebut sains Islam. Sains Islam yang muncul kepermukaan bukanlah sebuah reorientasi sains Barat ataupun pengekoran, sementara sains Islam merupakan entitas pada dirinya sendiri, tidak terbatas hanya membandingkan dan memperbaiki sains yang sudah ada. Lahirnya sains Islam sebenarnya merupakan bagian dari keseluruhan Islam sebagai sebuah jalan hidup yang lengkap, sehingga dengan kelengkapannya Islam dapat dijadikan satu-satunya paradigma dimana sains itu sendiri dapat didefinisikan sesuai dengan keinginan awal (bermanfaat bagi kehidupan). Kehidupan sains tidak dapat dipisahkan dari arus utama panorama intlektual dan moral Islam sehingga dapat membuahkan suatu pandangan dunia dalam keseluruhan kerangka nilai-nilai Islam.

D.        SOLUSI KRUSIAL
Nik Mustapha (1992) berpendapat bahwa kajian bidang ekonomi adalah membicarakan tingkah laku manusia khususnya sebagai konsumen (user), distributor dan produsen. Sementara, yang dijadikan pembicaraan utama dalam bidang ekonomi ialah tingkah laku manusia (human behaviour), maka agar dapat memahami tingkah laku manusia langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri melalui filsafat dan sikap hidup yang dianut oleh manusia (Siddiqi 1996). Dalam ilmu ekonomi sekarang (yaitu ilmu ekonomi “barat”) walaupun perjalanannya telah melalui proses yang panjang hasilnya semakin mengantarkan manusia pada keadaan resah, renggut dan rusak (QS. 57:20) bukan pada keadaan hasanah (QS. 2:201) yang dapat mengantarkan manusia mencapai keadilan dan kemakmuran dunia dan akhirat (Herman 1999). Selanjutnya Herman Suwardi (1999) menjelaskan keadaan itu diakibatkan oleh ekonomi barat yang mengabdi kepada kepentingan peribadi (self interest) dan bukannya mengabdi kepada Allah SWT., ekonomi barat memakai landasan filsafat positivisme yang menyebabkan manusia menjadi resah karena yang dicoba dibangun oleh positivisme ialah nafs amarah terhadap evilness of human nature (QS. 12:53). Keresahan itu mendorong manusia hidup dalam keadaan konflik sehingga dengan konflik kehidupan itu manusia cenderung bersaing dalam memperoleh laba sebanyak-banyaknya (profit maximum principle). Sementara, ekonomi yang berdasarkan Islam menganjurkan manusia mengabdi kepada Allah SWT. (QS. 18:29) dengan memakai landasan iman dan takwa, sehingga menjadikan manusia tenang (calmness of human nature). Ketenangan itu mendorong manusia hidup dalam keadaan harmoni karena berdasarkan keyakinan bahwa semua mu’min adalah saudara. Pembahasan Islam mengenai tingkah laku manusia dengan sesama manusia terletak pada perilaku muamalah, sehingga ukhuwah yang di lakukan manusia diarahkan menuju pada keadaan “competition for achievement”. Oleh karena itu yang dicoba dibangun oleh ekonomi Islam ialah nafs mutmainnah atau calmness terhadap akhlak (QS. 89:27-30). Dengan demikian penggalian ekonomi Islam diharapkan dapat berperan dalam mendorong kehidupan manusia pada persaingan berprestasi (fastabiqu al-khairati) dengan mengedepankan pertambahan keuntungan (profit increase principle).
Pada bagian lain Manan (1997) menjelaskan bahwa pembentukan perilaku manusia dalam negara berkembang dan kurang berkembang dengan bentuk negara Islam ataupun mayoritas masyarakatnya beragama Islam merupakan suatu proses yang menyakitkan. Hal itu terjadi karena motivasi berusaha masyarakatnya lemah, sehingga dengan lemahnya semangat berusaha dapat menghambat proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, untuk mempercepat proses pembangunan ekonomi Islam diperlukan upaya penggalangan semangat usaha yang berdasarkan nilai-nilai yang dipunyai Islam supaya manusia dapat mencapai falah sebagai tujuan terakhir yang ingin dicapainya. Dengan demikian Mustapha (1986) mengatakan bahwa perspektif Islam menghendaki dan berharap kepada peneliti agar memasukan unsur moral-kerohanian sebagai sesuatu yang autonomous serta berpengaruh ke atas kebendaan.

E.         DAFTAR PUSTAKA
Ahmad , Khurshid. 1992. Kajian dalam ekonomi Islam. Terj. Sibly Bin Maros & Amir Hussin Baharuddin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Al-Buthi , Muhammad Sa’id Ramadhan. 1987. Krisis ilmu pengetahuan dan pemecahannya dalam kehidupan pemikiran kontemporer kita. Dlm. Abd. Al-Hamid Abu Sulaiman (pnyt). Permasalahan metodologis dalam pemikiran Islam. Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Al-Qaradawi, Yusuf. 1998. Peranan nilai dan akhlak dalam ekonomi Islam. Terj. Mufti Labib & Arsil Ibrahim. Kuala Lumpur: Angkatan Belia Islam Malaysia.
Anees, Ahmad Munawar & Davies, Wyn Merryl. Sains Islam: pemikiran mutakhir dan berbagai arah kecenderungan masa depan. Jurnal Studi-Studi Islam Al-Hikmah. 15 (6): 72-85
As-Shadr, Muhammad Baqir. 1995. Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali. Bandung: Penerbit Mizan.
Chapra, M. Umer. 1999. Islam dan tantangan ekonomi: islamisasi ekonomi kontemporer. Terj. Nur Hadi Ihsan & Rifqi Amar. Surabaya: Risalah Gusti
Chapra, M. Umer. 1997. Islam dan pembangunan ekonomi: satu strategi untuk pembangunan yang adil dan stabil. Terj. Adi Setia bin Mohd Dom. Malaysia: The International Institute of Islamic Thought.
Didi Atmadilaga. 1997. Panduan: skripsi, tesis, disertasi; penerapan filsafat ilmu, filsafat & etika penelitian, struktur penulisan ilmiah, evaluasi karya ilmiah. Bandung: Pionir Jaya.
Hasan Langgulung. 1991. Kreativiti dan pendidikan: suatu kajian psikologi dan falsafah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hidajat Nataatmadja. 1985. Kebangkitan Al-Islam. Bandung: Risalah Bandung.
Iqbal, Muhammad. 1966. Membangun kembali pikiran agama dalam Islam. Terj. Ali Audah, Taufik Ismail, Gunawan Mohamad. Jakarta: Penertbit Titamas.
Jujun S. Suriasumantri. 1990. Ilmu dalam pespektif moral, sosial dan politik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kahn, Waheeduddin. 1983. Islam menjawab tantangan zaman. Terj. A. Rafi`ie Utsman. Bandung: Penerbit Pustaka.
Kuhn, S. Thomas. 1970. The stucture of scientific revolutions. Ed. 2nd. Chicago: The University of Chicago Press.
Manan, Abdul. 1997. Teori dan praktek: ekonomi Islam. Terj. M. Nastangin. Yogjakarta: P.T. Dana Bhakti Wakaf.
Mustapha Hj. Mohd. Jar. 1986. Konsep manusia dari perspektif barat dan Islam. Dlm. Wan Hashim & Mahayudin Haji Yahaya (pnyt). Sains sosial dari perspektif Islam. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.


2 komentar:

Unknown mengatakan...

thanks

Much. Nasih Amin mengatakan...

Untuk membaca lebih ringkas tentang filsafat ekonomi islam bisa lihat di Blog Saya