Selasa, 16 Desember 2014

TADWIINUL HADITS

BAB II
KAJIAN TEORI
A.    PENGERTIAN TADWIINUL HADITS
Secara bahasa, kata Tadwin (التدوين) bermakna (المتشتت في ديوان) artinya : ”mengikat yang terpisah dan mengumpulkan yang terurai (dari tulisan-tulisan)pada suatu diwaan.” Dan “diwaan” (الديوان) adalah kumpulan kertas-kertas atau kitab (buku) yang biasanya dipakai untuk mencatat keperluan tertentu, misalnya diwaan ahlu jaisy (buku daftar keluarga militer) yang dalam sejarah Islam untuk pertama kalinya dilakukan Umar. ( lihat Kamus Mukhtar Ash Shihaah dan Qamus Al-Muhith serta kamus-kamus Arab lainnya pada materi : (د و ن).
Adapun “tadwin As-Sunnah” (تدوين السنة), maknanya adalah penulisan riwayat-riwayat hadits nabawy pada kumpulan lembaran atau buku (kitab).  Tadwin As-Sunnah merupakan salah satu bentuk inayah yang besar dan khidmat yang agung dari para ulama Ahli Hadits terhadap Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
Secara bahasa tadwin di terjemahkan dengan kumpulan shiffah (mujtama’ al-shoruf). Secara luas tadwin diartikan dengan al-jam’u(mengumpulkan) .Al-zahrani merumuskan pengertian tadwin:

تفيدالمتفرق المشتت وجمعه في ديوان اوكتاب تجمع فيه الصح

Mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diaawn atau kitb yang terdiari dari lembaran
Sementara yang dimaksud dengan tadwin hadits dalam periode ini adalah pembukuan(kodifikasi)secara resmi yang berdasarkan pemerintah kepala negara,dengan melibatkan beberapa personil yang dibidangnya. Usaha ini di mulai pada masa pemerintahan islam yang di pimpin oleh kholifah umar ibnu abdul azis kholifah ke 8 dari kekholifahan bani umayyah melalui instruksinya kapada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghafalnya.  Kepada abu bakar ibnu muhammad ibn amri ibn hazm(gubernur madinah)ia mengirim instruksi yang antara lain berbunyi:

انظرواحديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فا كتبوه فا ني حفت دروس العلم ودهاب (وفي روايةدهابه العلماء)ولاتقبل الاحديث النبي صلي الله عليه وسلم
Perhatikan atau periksalah hadits-hadits rasul kemudian tuliskanlah!aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama’(para ahlinya)dan janganlah kamu terima kecuali hadits rasul SAW
Kholifah menginstruksikan kepada abu bakar ibn hazm agar mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada amrah binti abdurrahman al-anshori(murid kepercayaan siti asiyah) dan al-Qosim ibn Muhammad ibn Abu Bakar.Inatruksi yang sama ia titipkan kepada Muhammad ibn Syuhab Al-Zuhri,yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui dari pada yang lainnya.
Abu Bakar ibn Hazm berhasil menghimpun hadits dalam jumlah yang menurut para ulama’ kurang lengkap .Sedang ibn syihab Al-Zuhri berhasil menghimpunnya yang dinilai para ulama’ lebih lengkap,akan tetapi sayang sekali karya kedua tabi’in ini lenyap tidak sampai pada generasi sekarang.

B.     SEJARAH TADWIINUL HADITS
   1.      Latar Belakang Pembukuan Hadits
Sekurang-kurangnya ada 2 hal pokok mengapa umar ibn abdul aziz mengambil sikap seperti ini .Pertama ia khawatir terhadap hilangnya hadits-hadits dengan meninggalnya para ulama’ di medan perang. Kedua,ia khawatir juga akan tercampurnya antara hadits-hadits yang sohih dengan hadits-hadits yang palsu. Dipihak lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam.Sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelaslah sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini. Dengan melihat berbagai persoalan yang muncul, sehingga akibat terjadinya pergolakan politik, yang sudah cukup lama, dan mendesaknya kebutuhan untuk segera mengambil tindakan guna penyelamatan hadits dari kemusnahan dan pemalsuan mak umar ibn abdul aziz sebagai seorang kholifah yang berakhlak mulia,adil   bijak terdorong untuk maengambil tindakan ini bahkan menurut beaberap filsafat,ia turut terlibat maendiskusikan hadits-hadits yang sedang dihimpunnya. 

   2.      Sejarah kodifikasi hadis pada masa nabi muhammad SAW

Pembukuan hadis periode mutaqaddimin
Yang dimaksud dengan mutaqaddimin adalah periode yang berada anatara fase abad I hingga III hijriyah yang dimulai dari masa awal hijrahnya Rasulullah saw hingga masa tabi’in, masa ini kemudian diistilahkan oleh para ulama dengan al-Qurun al-Mufaddalah (abad yang dimuliakan). Pembukuan hadis pada masa mutaqaddimin terjadi dimulai pada abad akhir ke II H.
Dalam sejarah penghimpunanan dan kodifikasi Hadist mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi Al-Qur’an. Hal ini wajar saja karena Al-Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana, dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar khalifah pertama dari Khulafa Ar-Rasyidin sekalipun dalam penyempurnaannya dilakukan pada masa Usman bin Affan yang disebut dengana Tulisan Ustmani (Khath ‘Ustmani). Sedangkan penulisan Hadist pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad ke-2 Hijriyah dan mengalami kejayaan pada abad ke-3 Hijriyah.
Hadis pada masa Rasulullah saw. dan khulafa’ al-rasyidin belum dibukukan secara resmi (tadwin). Hal itu erat kaitannya dengan larangan penulisan selain al-Qur’an oleh Rasulullah saw. meskipun terdapat juga hadis yang membolehkan penulisannya.
Hadis yang melarang penulisan misalnya adalah:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabda “Jangan menulis dariku, barang siapa yang menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah dia menghapusnya. Riwayatkanlah apa yang datang dariku tanpa ada dosa, dan barang siapa yang berdusta atas diriku secara sadar,maka hendaklah dia menyiapkan tempatnya di neraka.
  
Sedangkan hadis yang membolehkan penulisan hadis adalah:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ، قَالَ : كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أُرِيدُ حِفْظَهُ ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ عَنْ ذَلِكَ ، وَقَالُوا : تَكْتُبُ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا ؟ فَأَمْسَكْتُ ، حَتَّى ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : اكْتُبْ ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، مَا خَرَجَ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ.

Terjemahannya: “Dari Abdullah ibn ‘Amar berkata: Saya menulis setiap sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw. untuk dihafal, lalu orang-orang Quraisy melarangku seraya berkata: Apakah engkau menulis semua apa yang diucapkan Rasulullah pada waktu marah dan ridha? Lalu saya diam hingga aku laporkan ke Rasulullah saw. dan berkata “Tulislah! Demi zat yang aku dalam genggamannya, tak satupun yang keluar dariku kecuali kebenaran.
Ulama berusaha untuk mempertemukan dan mendamaikan kedua hadis yang kelihatannya bertentangan satu sama lain dengan beberapa cara:
1.      Hadis Abu Sa’id al-Khudri termasuk hadis mauquf sehingga tidak layak menjadi hujjah. Sedangkan hadis Abdullah ibn ‘Amr sahih.
2.      Larangan penulisan hadis itu terjadi pada awal Islam karena khawatir bercampur baur dengan al-Qur’an, sedangkan hadis yang membolehkan itu me-nasakh hadis sebelumnya.
3.      Larangan penulisan hadis itu terjadi jika dilakukan dalam satu mushaf dengan al-Qur’an.
4.      Larangan itu berlaku bagi orang yang kuat hafalannya dan dikhawatirkan beralih ke tulisan, sedangkan izin berlaku yang tidak kuat hafalannya.
5.      Larangan penulisan hadis berlaku secara umum, sedangkan izin diberikan kepada orang yang tidak dikhawatirkan salah penulisan dan sembrono.
Oleh karena itu, penulisan hadis (al-kitabah al-Hadis|) telah terjadi pada masa Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Di antara penulis hadis dari kalangan sahabat adalah Abu Umamah al-Ba (10 SH-81 H), Abu Ayyub al-Ansari (w. 52 H), Abu Bakar al-Siddiq (50 SH-13 H) dan sahabat-sahabat lain yang jumlahnya mencapai 50-an.
Kemudian pada tingkat tabi’in, muncul juga beberapa penulis hadis antara lain, Aban ibn Us|man ibn ‘Affan (20-105 H), Ibrahim ibn Yazid al-Nakha’i (47-96 H), Abu Salamah ibn Abd Rahman (32-104 H) dan tabi’in-tabi’in yang mencapai 100-an. Kemudian dilanjutkan oleh tabi’in muda dan beberapa pengikut tabi’in.
Pada ketiga masa (abad I-III) penulisan hadis telah terjadi, namun masih dalam bentuk tulisan-tulisan individu dan belum terpisah antara satu dengan yang lainnya, mengingat anatara ketiga memiliki bentuk pembatasan periwayatan. Bentuk-bentuk pembatasan-pembatasan tersebut adalah:
1.      Pada masa Rasulullah saw terjadi pelarangan penulisan hadis dari beliau saw, karena kekhawatiran tercampurnya al-Qur’an dengan hadis.
2.      Pada masa Sahabat Nabi saw terjadi pembatasan riwayat disebabkan karen kekhawatiran para KhulafaU Al-Rasyidin umat Islam mengkonsentrasikan diri mencari dan menghafalkan hadis dan mengabaikan al-Qur’an .
3.      Pada masa Tabi’in periwayatan masih sebatas periwayatan \lisan dan tulisan yang terdapat dalam individu-individu. : .
4.      Kodifikasi hadits atau yang biasa disebut tadwin hadits adalah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli di bidangnya. Kodifikasi seperti ini pernah terjadi di zaman Rasululah SAW.

   3.      Perkembangan Kodifikasi Hadits
Pada abad I H, sebagian perawi mencatat Hadits, sedangkan yang lain tidak menulisnya. Dalam meriwayatkan, mereka hanya berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan seperti ini berlangsung sampai pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz ra. Masa ini disebut masa pra kodifikasi Hadits karena belum ada perintah resmi dari pemerintah. Walaupun ada sebagian sahabat yang menulis dan membukukannya, namun hal itu dilakukan terbatas pada motif pribadi, seperti kitab yang ditulis oleh Abdullah bin Umar bin Ash “ Al Shohifah al Shadiqah “ yang memuat seribu Hadits.
Permulaan abad ke II adalah masa penulisan dan kodifikasi Hadits yaitu kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah kepala Negara dengan melibatkan beberapa sahabat yang ahli dibidangnya, tidak seperti kodifikasi yang dilakukan secara perseorangan untuk kepentingan pribadi, sebagaimana yang telah terjadi pada abad I H. Usaha ini dimulai ketika pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 99-102H ), khalifah ke-8 dari kekhalifahan dari Bani Umayah, melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan Hadits dari hafalannya. Ia menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibn Amar ibn Hazm (Gubernur Madinah) agar mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al Anshori (Murid kepercayaan Siti Aisyah). Dan Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar. Instruksi yang sama juga ia berikan kepada Muhammad bin Syihab az-Zuhri yang dinilainya sebagai seorang yang lebih banyak mengetahui Hadits.
Motif utama khalifah Umar bin Abdul Aziz berinisiatif demikian:
·         Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan Al-hadits seperti waktu yang sudah-sudah. Karena beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya al-hadits dari pendarahaan masyarakat.
·         Kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara al-hadits dari hadits-haditsu’ yang dibuat oleh orrang-orang untuk mempertahankan idiologi golongannya dan mempertahankan madzabnya, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya kekhilafan Ali bin Abi Thalib r.a.
·         Alasan tidak terbukukannya  al-hadits secara resmi di zaman Rasulullah SAW dan khulafaur rasyidin, karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan Al-qur’an.
Kalau di zaman khulafaur rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara orang-orang muslim, yang kian hari kian menjadi-menjadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah ulama hadits, maka pada saat itu konfrontasi tersebut benar-benar terjadi.
·         Disisi lain semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lain tidak sama, sehingga sangat memerlukan adanya kodifikasi.

   4.      Periode Penyempurnaan dan Pengembangan System Penyusunan Kitab Hadits
Awal masa ini ditandai dengan seleksi dan penyempurnaan serta pengembangan system penyusunan kitab Hadits yaitu ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti Abbasiyah, khususnya sejak masa al Makmun sampai dengan al Muktadir (201-300 H).
Munculnya masa seleksi ini karena pada masa pen-tadwin-an para ulama belum berhasil memisahkan beberapa Hadits mauquf dan maqtu’ dari hadits marfu’, memisahkan hadits dhai’if dari yang shohih, bahkan hadits maudlu’ yang tercampur pada hadits shahih. Pada masa inilah mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang masih tercampur sebagaimana disebutkan di atas. Berkat ke uletan dan keseriusan para ulama, pada masa ini bermunculan kitab-kitab hadits yang hanya memuat hadits-hadits shahih yang dikenal dengan kutub as Sittah (Kitab induk yang enam) yang secara lengkap kitab-kitab enam tersebut diurutkan sebagai berikut :
1.      Shahih Bukhari susunan Imam al-Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
2.      Shahih Muslim susunan Imam Muslim (202-261 H / 817-875 M)
3.      As Sunan Abi Daud susunan Abu Daud (202-275 H/ 817-888 M)
4.      As Sunan At-Tirmidzi susunan Imam Abu Isa Muhammad At-Turmudzi
(209-279 H / 824-892 M)
5.      As Sunan an Nas’I susunan Imam Nasa’I (215-303 H / 830-915 M)
6.      As Sunan Ibnu Majjah susunan Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid ar-Raba’I al Qazwini atau Ibnu Majjah (209-273 H / 824-887 M)
Dimana di antara kitab-kitab hadits yang sudah tersusun waktu itu adalah:
1.      Mushannaf Said bin Manshur (227 H)
2.      Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (235 H)
3.      Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (241 H)
4.      Shahih Al Bukhari (251 H)
5.      Shahih Muslim (261 H)
6.      Sunan Abu Daud (273 H)
7.      Sunan Ibnu Majah (273 H)
8.      Sunan At-Tirmidzi (279 H)
9.      Sunan An-Nasa’i (303 H)
10.  Al- Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307 H)
11.  Tahdzibul Atsar ibnu jarir Ayh-Thobari (310 H)
Setelah munculnya kitab sittah dan muwattha’-nya Malik serta musnadnya Ahmad bin Hambal para ulama mengalihkan perhatiannya menysun kitab-kitab jawami’, kitab sarah mukhtashor. Penyusunan kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha pengembangan dan beberapa variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab yang sudah ada, diantaranya mengumpulkan isi kitab shahih Bukhari dan Muslim.
Masa ini dapat dikatakan sebagai masa keemasan dalam sejarah kodifikasi Hadits. Sebab para ulama telah berhasil memisahkan hadits-hadits Nabi SAW dari yang bukan hadits (fatwa sahabat dan tabi’in).

   5.      Metodologi Pembukuan Hadits
a.      Metode Juz’ dan Atraf
Ini termasuk metode paling awal yang digunakan dalam  mengelompokkan hadits. Metode Juz berarti mengumpulkan hadits berdasarkan guru yang meriwayatkan hadits kepada penulis kitab hadits.  Metode atraf adalah pembukaan hadits dengan menyebutkan pangkalnya saja sebagai penunjuk matan hadits selengkapnya. Dianatara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah;
·   Atraf al-Sahihaini karya Ibrahim al-Dimasyqi (w. 400 H),
·   Atraf al-Sahiha ini karya Abu Muhammad  Khalaf  ibnu Muhammad al-Wasti
(w. 401 H),
b.      Metode Muwatta’
Secara kebahasaan muwatta berarti sesuatu yang dimudahkan. Sedangkan secara istilah ilmu hadits, muwatta adalah metode pembukuan hadits berdasarkan klasifikasi hukum Islam, dan mencantumkan hadits-hadits marfu, mauquf, dan maqtu. Contoh kitab dengan metode ini adalah; Al Muwattha’ disusun oleh Imam Malik(95H-179H)
c.       Metode Mushannaf
Secara kebahasaan mushannaf berarti sesuatu yang disusun, namun secara istilah sama artinya dengan muwatta’.
·         Al Mushannaf disusun oleh Syu’ban Ibn Hajjaj (160H)
·         Al Mushannaf disusun oleh Sufyan ibn Uyainah (198H)
d.      Metode Musnad
Musnad adalah kitab yang disusun oleh pengarangnya dengan mengurutkan daftar nama shahabat, lalu ditampilkan hadis-hadis yang periwayatannya sampai kepadanya, dari seorang shahabat tertentu di dalam musnad shahabat tersebut, kemudian shahabat lain di dalam musnad shahabat lainnya. Demikianlah kitab ini disusun, dengan mengesampingkan tema hadis. Kitab musnad yang paling terkenal, paling luas, paling banyak manfaatnya adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
e.       Metode Jami
Jami’ berarti sesuatu yang mengumpulkan, menggabungkan, dan mencakup. Kitab Jami’ adalah kitab hadits yang metode penyusunannya  mencakup seluruh topik-topik dalam agama, baik aqidah, hukum, adab, tafsir, manaqib, dan lain-lain.
Dianatara kitab-kitab yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah;
·         Al-Jami’ Baina al-Sahiaini, karya Ibnu al-Furat (Ismail ibnu Muhammad) (w. 414 H)
·         Al-Jami’ baina al-Sahihaini, karya Muhammad ibnu Nasr al-Humaidi (w. 488 H)
f.        Metode Mustakhraj
Manakala penyusunan kitab hadits berdasarkan penulisan kembali hadits-hadits yang terdapat dalam kitab lain, kemudian penulis kitab yang pertama tadi mencantumkan sanad dari dia sendiri, maka metode ini disebut mustakhraj. Dianatara kitab-kitab yang tersusun dalam bentuk seperti ini adalah;
Mustakhraj Sahih al-Bukhari karya al-Jurjani
Mustakhraj Sahih Muslim karya Abu ’Awanah (w. 216 H), Takhrij ahadis al-Ihya’ karya al-’Iraqi, yaitu mentakhrij hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihya’UlumudDin kraya al-Gazali
g.      Metode Sunan
Kata ‘sunan’ adalah bentuk jamak dari kata sunnah, yang pengertiannya sama dengan hadits. Sementara yang dimaksud di sini adalah metode penyusunan berdasarkan klasifikasi hukum-hukum Islam (abwab fiqhiyah), dan hanya mencantumkan hadits-hadits marfu’. Ini yang membedakan dengan metode mushannaf dan muwatta yang juga banyak mencantumkan hadits-hadits mauquf dan maqtu’. Sunan abu daud
Sunan an nasa’i
h.   Metode Mustadrak
Adakalanya penyusunan kitab hadits berdasarkan menyusulkan (append) hadits-hadits yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadits yang lain. Namun dalam menuliskan hadits-hadits susulan tersebut penulis kitab tadi mengikuti persyaratan periwayatan hadits yang dipakai oleh kitab yang lain tersebut. dianatara kitab-kitab hadis yang disusun dalam bentuk seperti ini adalah :al-Mustadrak karya al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H), dan al-Ilzamat karya al-Daruqutni (w. 385 H).
i.        Metode Mu’jam
Metode ini mengumpulkan hadits berdasarkan nama-nama para sahabat, guru-guru hadits, negeri-negeri, atau yang lain. Dan lazimnya nama-nama itu disusun berdasarkan huruf mu’jam (alfabet). Kesembilan metode di atas merupakan metode yang lahir sejak dini, dimulai dari masa para sahabat.
j.        Metode Zawaid
Sebuah hadits terkadang ditulis oleh sejumlah penulis hadits secara bersama-sama dalam kitab mereka. Ada pula hadits yang hanya ditulis oleh seorang penulis hadits saja, sementara penulis hadits yang lain tidak menuliskannya. Maka hadits-hadits jenis kedua ini menjadi lahan penelitian para pakar hadits yang datang kemudian. Hadits-hadits ini kemudian dihimpunnya dalam suatu kitab tersendiri. Metode penulisan ini disebut zawaid yang berarti tambahan-tambahan. Di antara kitab- yang ada dengan metode ini adalah Zawaid al-Sunan al-Kubra oleh al-Busiri,

   6.      Penelitian hadis periode kontemporer
Setelah terkodifikasinya hadis pada periode Mutaqaddimin dan disempurnakan pada periode mutaakkkhirin para ulama hadis pada periode kontemporer kemudian melakukan kajian dan penelitian terhadap hadis- hadis Nabi saw dan mengembangkannya dengan menggunakan berbagai bentuk metode dan system, diantara metode dan system yang digunakan oleh para ulama hadis periode kontemporer dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis Nabi saw adalah sebagai berikut

1.         Metode Takhrij yaitu melakukan penelitian terhadap karya-karya ulama mutaakhkhirin yang belum tersentuh oleh takhrij salah satu ulama yang mengabdikan diri dalam melakukan pengkajian dan penelitian hadis pada periode ini adalah Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Albani (w. 1426 H) diantara karya beliau adalah Irwa’ al-Galil fi Takhrij Ahadis Manar al-Sabil yang mentakhrij dan menjelaskan hukum-hukum akan hadis yang terdapat dalam kitab Syarh al-Dalil karya Ibrahim bin Muhammad bin Dawiyan. karya beliau adalah Silsilah al-Ahadis al-ahihah, al-D}a’ifah, al-Maudu’ah. Dan banyak lagi karya-karya beliau yang berhubungan dengan takrij hadis.
2.      Metode Ikhtisar al-Hadis, diantara karya-karya ulama hadis kontemporer dalam meringkas hadis-hadis yang telah dihimpun oleh ulama terdahulu baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhkhirin adalah karya al-Albani yaitu Mukhtasar Sahih al-Bukhari dan Mukhtasar Sahih Muslim.
3.      Metode tematik, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki tema tertentu, kemudian melakukan takhrij dan penelitian terhadap sanad dan matan untuk mengetahui kesahihan hadis tersebut, kemudian memberikan penjelasan dan uaraian terhadap hadi-hadis tersebut untuk menyelesaikan sebuah problematika baik yang bersifat antologis, epistemologis, maupun aksiologis. Penelitian dengan metode ini mulai dikenal setelah munculnya metode tematik dalam bidang tafsir al-Qur’an.
4.      Metode digital yaitu melakukan penelitian hadis melalui program-program hadis yang telah dirancang dengan baik guna memberikan kemudahan kepada para peneliti hadis zaman ini.  Pada masa ini jarang ditemukan ulama-ulam yang mampu mmenyampaikan periwayatan hadits beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna. Yang umum adalah mempelajari kitab-kitab hadits yang ada,mengembangkannya, membuat pembahasan-pembahasannya atau membuat ringkasan-ringkasan hadits. Pada masa ini meskipun hadits relative sudah mapan, tetapi banyak ulam yang melakukan ijtihad dalam menetapkan kaidah-kaidah ilmiyah ilmu hadits. Selanjutnya sejak abad X sampai abad XIV kreatifitas ijtihad berhenti, kegiatan yang ada hanya masalah peringkasan dan pendiskusian hal-hal yang sifatnya harfiyah. Di antara kitab yang lahir pada masa ini adalah Al-Mahmudah Al-Baiquniyah karya Umar Ibn Muhammad Ibn Futuhi Al-Baquni. Di antara kitab karya-karya yang muncul pada masa itu adalah Al-Hadits Wa Al-Muhaddistun karya Muhammad Abu Zahw, As-Sunnah Wa Makanatuhu Fi At-Tasyri’ Islami karya Musthofa As-Siba’i.

           C. PERIODISASI HADITS
      Sejarah penulisan (kodifikasi) Sunnah telah melalui perjalanan yang panjang dengan melalui beberapa periode sebgai berikut:
   1.      Periode Abad I H.
 (sebagian muhadditsin menyebut periode ini dengan marhalah at ta'siis).
        Periode ini mencakup masa kehidupan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, masa sahabat sepeninggal beliau dan masa tabi’in.  Usaha dan perjuangan yang dilakukan sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah pondasi awal dalam pencatatan Sunnah serta upaya penghafalan dan periwayatannya/panyampaiannya kepada ummat ini, sebagaimana usaha dan perjuangan mereka adalah pondasi dalam penyebaran din Islam dan pengokohan aqidah dan penjagaan Sunnah dari segala apa saja yang merusaknya.  Di antara upaya-upaya sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hal Tadwin sunnah adalah sebgai berikut:
a.   Motivasi dalam mengahafal dan menguatkan hafalan, bahkan banyak di antara mereka  yang menyuruh murid-muridnya untuk menulis dalam rangka menguatkan hafalannya lalu menghapus kembali tulisan itu agar tidak menjadi patokan/sandaran.
b. Menulis Sunnah dan mengirimkannya kepada orang lain.
c. Menganjurkan kepada murid-murid mereka untuk menulis/mencatat hadits.
d. Mencatat dan mengumpulkan hadits dalam diiwaan (lembaran-lembaran).
Setelah masa sahabat datanglah generasi tabi’in yang memawarisi Sunnah. Bahkan, dien ini secara keseluruhan dari sahabat dan mereka tampil dengan mengemban amanah penyampaian risalah kepada seluruh manusia. Mereka telah memaksimalkan usaha mereka dalam rangka ta’zhim dan khidmat terhadap Sunnah dalam berbagai bentuk dan upaya. Dan di antara usaha besar dan kerja keras mereka khusus untuk tadwin sunnah adalah sebagai berikut:

a. Menganjurkan untuk iltizam kepada Sunnah, menghafal dan menulisnya, serta tatsabbut dalam meriwayatkan dan mendengarkannya.
b. Mencatat Sunnah dalam lembaran-lembaran.
c. Usaha-usaha yang besar dari dua imam kaum muslimin, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Ibnu Syihab Az Zuhri,dalam tadwin sunnah.
2.Periode abad II (marhalah at ta'-shil)
Periode ini mencakup dua generasi,yaitu generasi shigar at Tabi’in dan generasi atba’uttabi’in. Dalam periode ini khidmah kepada Sunnah dan ilmu-ilmunya semakin meningkat, upaya penjagaan dari segala hal yang menodai dan mengotorinya makin gencar. Di masa ini mulailah Sunnah dikodifikasikan secara teratur dan tersusun. Bersamaan dengan itu muncul pulalah ilmu rijal, yang cikal-bakalnya telah muncul sejak akhir masa sahabat dan kibar at tabi’in ditandai dengan munculnya pertanyaan tentang isnad. Di tangan generasi inilah awal mula disusunnya kitab-kitab ilmu rijal dan kitab-kitab hadits yang tersusun atas bab-bab dan pasal-pasal.
Beberapa perkembangan tadwin sunnah yang terjadi pada periode ini:
a. Lahirnya metode penulisan hadits yang baru yaitu hadits-hadits disusun teratur bab per-bab   (tashnif).
b. Penggabungan ucapan (atsar) sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in dengan hadits-hadits nabawi dalam kitb-kitab yang ditulis pada periode ini.Setelah sebelumnya atsar dan fatwa tersebut tidak ditulis. Periode ini dipandang sebagai masa pengokohan ilmu-ilmu Sunnah, di masa ini hidup tokoh-tokoh besar Sunnah, para imam yang mulia: Malik, Asy-Syafi’i, Sufyan Ats-tsauri, al-Auzai’Ii Syu’bah bin Hajjaj, Ibnu Mubarak, Ibrahim Al Fazari, Ibnu Uyainah, Yahya bin Said al Qaththan, Ibnu Mahdi, Waki’ dan lain-lain.
3.Periode Abad III (Marhalah An-Nudhj)
Periode ini merupakan masa kemajuan ilmu-ilmu keislaman secara umum, dan ilmu-ilmu Sunnah secara khusus.bahkan masa ini dipandang sebagai masa keemasan Sunnah Nabawiyah, yang mana pada masa ini semakin gesit rihlah untuk Tholabil-‘ilm, semakin gencar penulisan kitab dalam ilmu rijal dan semakin luas karya-karya dalam tadwin sunnah. Munculnya Kitab-kitab Masanid, Shihah dan Sunan. Yang diantaranya adalah Al Kutub As Sittah.
            Pada periode ini tampil para tokoh-tokoh Huffazh, ahli naqd (kritik hadits) dan ulama-ulama besar seperti: Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Ali bin Al Madini, Yahya bin Ma’in, Abu Abdillah Al Bukhari, Muslim bin Hajjaj, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ar Razi, Utsman bin Sa’id Ad Darimi, Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasaai, Ibnu Majah dan lain-lain. Yang kesemuanya merupakan pelopor ilmu hadits secara umum dan ilmu jarh wa ta’dil secara khusus.
            Dari tangan-tangan mereka pula lahir suatu bentuk karya baru dalam tadwin sunnah ,yaitu kitab-kitab aqidah, sebagai upaya membentangi islam dan Sunnah dari golongan ahlu ahwa wal bida’.
 
4.Periode abad IV (Marhalah al Istikmal)
Periode ini merupakan tahap lanjutan dan penyempurnaan terhadap karya-karya periode sebelumnya.  Pada abad IV H ,para ulama umumnya mengikuti manhaj pendahulunya (generasi III). Dalam penulisan sunnah. Di antara mereka ada yang mengikuti manhaj Ash Shahihain dengan mengeluarkan hadits-hadits shahih saja dalam kitab mereka, adapun yang mengikuti manhaj kitab-kitab sunan dengan mengeluarkan hadist-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum dan adab-adab dan adapula yang mengarahkan karyanya pada masalah ikhtilaf al hadits.
            Pada periode ini pulalah muncul bentuk baru dalam tadwin sunnah seperti munculnya kitab-kitab mustakhrajat, dan ma’ajim (mu’jam-mu’jam) hadits. Muncul pula pengkodifikasian syarah hadits (fiqhul hadits). Muncul pula pengkodifikasian ilmu mustholah hadits untuk pertama kali dan munculnya karya ulama dalam ilmu ‘ilal al hadits. Dalam ilmu jarh wa ta’dil pun terdapat beberapa kitab-kitab terkenal dan merupakan referensi yang ditulis ulama pada masa ini.
            Di antara tokoh dan Imam Sunnah di masa ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu As Sakan, Al Hakim, Ibnul Jarud, ad Daraquthni, Ath Thahawi, Ath Thabarani, Abu Nu’aim Al Ashbahabi, Al Isfirayini dan lain-lain.

5.Periode abad V H (Marhalah at-tahdzib)
            Pada abad V H, ulama memunculkan kreasi baru dalam tadwin sunnah, yang mana merupakan perluasan dan pengayaan khazanah haditsiyah.Misalnya:
a.Pengumpulan hadits-hadits dari kitab-kitab yang berbeda, seperti penggabungan hadits-hadits Shahihain, penggabungan hadits-hadits Al Kutub As Sittah, penggabungan hadits-hadits dari kitab-kitab yang berbeda-beda.
b. Munculnya kitab-kitab takhrij
c.Munculnya kitab-kitab maudhu’at.
d.Munculnya kitab-kitab tentang hadits-hadits At Targhif wattarhib.
            Di samping adanya karya-karya para ulama yang mengikuti manhaj para ulama sebelumnya seperti kitab-kitab sunan (hadits-hadits ahkam) dan mustakhrajat. Jenis usaha lain yang semakin menguat pada masa ini adalah pensyarahan terhadap hadits-hadits yang terdapat pada kitab-kitab hadits yang ada.
Di antara tokoh-tokoh hadits di masa ini adalah Al Baihaqi, Al Baghawi, Muhammad bin Nashir al Humaidi, Al Khatib Al Baghdadi, Ibnu Abdilbarr dan sebagainya.
6.Periode abad VI dan VII (Marhalah at tamhish)
Pada periode ini ulama menempuh berbagai bentuk pengkhidmatan terhadap Sunnah melalui buah karya mereka, yang umumnya adalah melanjutkan apa yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya yang tentunya dengan susunan-susunan yang umumnya lebih baik dari sebelumnya misalnya:
a. Kitab-kitab maudhu’at.
b. Kitab-kitab hadits ahkaam.
c. Kitab-kitab gharibul hadits.
d. Kitab-kitab athraful hadits.
7.Periode abad VIII dan IX (Marhalah al Jam'i wattartib)
Pada periode ini para ulama juga melakukan tadwinus sunnah dalam bentuk inayah dan khidmat kepada kitab-kitab salaf (generasi-generasi awal) dengan mensyarahnya, selain itu mereka juga menyusun biografi (tarjamah) para periwayatnya.

Di samping itu para ulama di periode ini melanjutkan apa yang telah dilakukan oeh generasi sebelumnya dan di antara yang paling nampak adalah munculnya kitab-kitab Takhrij dan kitab-kitab Jawami’.
            Pada periode ini pula sebuah kreasi baru muncul dari kalangan Ulama yaitu adalah kitab-kitab Zawaaid.

8.Periode Pasca Abad IX hingga awal abad XIV (Marhalah aljumud)
Pada periode ini gerakan ilmiah dalam alam islami mengalami kemunduran, termasuk dan terutama dalam ilmu-ilmu Sunnah nabawiyah.Namun,hal ini bukan berarti sama sekali tidak ada produksi para ulama hadits hanya saja adanya kreasi-kresai baru menjadi sesuatu yang langka dan hanya peran muhadtstsin tidak lagi sebesar sebagaiman    sebelumnya.
            Di antara tokoh besar ulama hadits yang hidup di zaman ini adalah Al Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Hafizh As Sakhawi, Al Hafizh Zakariya Al Anshari, Muhammad Al Baiquni, Imam Waliyyullah Ad Dahlawi, Al ‘Ajluni, As Saffaarini, Az Zabidi, Muhammad bin Ali Asy Syukani dan lain-lain.
9.Periode abad XIV hingga sekarang (marhalah an nuhdh wal inbi’ats),
            Pada periode ini, khidmatus sunnah mengalami suasana perkembangan baru, dengan adanya peran percetakan, di awali dengan masuknya percetakan ke alam islmai mulai dari Mesir, kemudian Syam, Iraq, Palestina. Libanon, India dan seterusnya. Maka perhatian diarahkan kepada percetakan kitab-kitab agama terutama yang berkaitan dengan Al Quran ,Hadits, dan Fiqh ,mulailah diadakan pengumpulan karya-karya agung para ulama dalam ulum As Sunnah dalam berbagai disiplinnya, termasuk tadwinus sunnah di mana kitab-kitab induk mulai dicetak begitu pula kitab-kitab yang berhubungan  dengannya.
            Pada pertengahan abad 20 M, gerakan ilmiah ini makin luas dan gencar, terutama setelah kaum muslimin memahami tujuan-tujuan busuk yang terselubung dalam kedok imperialisme Barat yang berupaya memadamkan islam dengan jalan memadamkan Sunnah.
            Di antara ulama muhaditsin yang hidup di zaman ini adalah Syamsulhaq Azhim Abadi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Ahmad Syakir, Muhammad Nashiruddin Al Albani dan lain-lain.

D.  MENGENAL KITAB-KITAB HADITS YANG TERKENAL:
Beberapa ulama Hadits yang berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang diantaranya :

Pertama, Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah, dengan kitabnya Al-Muwattha’. Kitab tersebut disusun pada tahun 143 H dan para ulama menilainya sebagai kitab Tadwin pertama. Jumlah Hadits yang terdapat dalam kitab al Muwattha’ kurang lebih 1720 buah Hadits.
Kedua, kitab Musnadu al Syafi’i. didalam kitab ini ia mencantumkan seluruh Hadits yang bernama al-Umm, selain itu juga ada beberapa kitab lainnya seperti al-Jami’, al-Musnad, al-Musannaf Asy Syafi’I, al-Musannaf al-Auza.
Sistem pembukuan Hadits pada masa ini yaitu, para pengarang menghimpun semua Hadits mengenai masalah-masalah yang sama dalam satu kitab karangan saja. Dan dalam kitab ini Hadits masih bercampur dengan fatwa sahabat dan tabi’in, belum ada pemilihan mana Hadits yang marfu’, hadist mauquf, ataupun Hadits Maqtu’, serta antara Hadits Shohih, Hasan, dan Dho’if.

1. Dari abad II :

Al Muwaththa (Imam Malik bin Anas), Al Mushannaf (Abdurrazzaq Ash Shan’ani), Al Mushannaf (Ibnu Abi Syaibah).
2. Dari abad III :
a. Kitab-kitab masanid (musnad-musnad) : Musnad Abu Daud Ath Thayalisi, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Amru Al Bazzar, Musnad Abu Ya’la Al Maushili, Musnad Al Humaidi, Musnad Ibnu Rahuyah dan sebagainya.
b. Kitab-kitab shihah : Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim.
c. Kitab-kitab sunan : Sunan Abi Daud, Sunan (Jami’) At Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah dan Sunan Ad Darimi.
d. Kitab-kitab hadits yang berkaitan dengan aqidah : As Sunnah (Imam Ahmad), As Sunnah (Abdullah bin Ahmad), As Sunnah (Abu Nashr Al Marwazi), Ar Raddu ‘alal Jahmiyah (Imam Ahmad), Al Raddu ‘ala Bisyr Al Marisi Al Mu’tazili (Imam Ad Darimi), Khalqu Af’aalil ‘Ibad (Imam Bukhari) dan sebagainya.

3. Dari abad IV :

a. Kitab-kitab Shihah : Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Sakan, Mustadrak Al Hakim.
b. Kitab-kitab Sunan : Muntaqa Ibnul Jarud, Sunan Ad Daraquthni.
c. Kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu mukhtalafil-hadits : Syarh musykil al-aatsar (Ath Thahawi).
d. Kitab-kitab Mustakhrajat : Mustakhrajat Abu Bakar Al Isma’ili (tehadap Shahih Bukhari), Mustakhrajat Abu ‘Awanah Al Isfarayini (atas Shahih Muslim).
e. Kitab-kitab Ma’ajim : Al Mu’jam Al Kabir, Al Mu’jam Al Ausath, Al Mu’jam Ash Shagir (ketiganya oleh Imam Ath Thabarani).
f. Kitab-kitab syarah hadits : Tahdzibul aatsar (Ibnu Jarir Ath Thabari), Syarhu Ma’anil Aatsaar (Ath Thahawi), Syarhu Shahihil Bukhari dan Ma’alim as sunan (keduanya oleh Al Khaththabi).
4. Dari abad V :
a. Kitab-kitab Sunan : Sunan Al Kubra (Al Baihaqi).
b. Kitab-kitab yang mneggabungkan Kitab-kitab hadits sebelumnya:
- yang menggabungkan shahihain: Al Jam’u baina Ash Shahihain (masing-masing ditulis oleh Ibnu Nashr Al Humaidi, Abu Bakar Al Barqani dan lain-lain).
- yang menggabungkan al Kutub as Sittah : At Tajrid lish-shihaah wassunan ( Al Hafizh As Sarqasti), Jaami’ al- ushuul (Ibnu Atsir Al Jazari).
- yang menggabungkan hadits-hadits dari kitab-kitab yang berbeda: Bahrul asaaniid fi shahihil masaaniid (Al Hafizh Abu Muhammad As Samarqandi), Mashaabihus-sunnah (Imam Al Baihaqi).
c. Kitab-kitab maudhu’at : kitab Tadzkir Al Maudhu’at (Abul Fadhl Muhammad bin Thahir ibnu Qaisaraani).
d. Kitab-kitab yang berkaitan dengan at targhib wattarhib : Kitab At Targhib wat Tarhib, Kitab ad Da’waat Al kabir (keduanya oleh Imam Al Baihaqi).
e. Kitab-kitab mustakhrajat : Mustakhraj Al Hafizh ibnu Marduyah (atas Shahih Bukhari), Mustakhraj Abu Nu’aim Al Ashbahani (terhadap Shahihain) dan lain-lain.
f. Kitab-kitab syarah hadits : At Tamhid (Ibnu Abdilbarr), Syarhus-Sunnah (Al Baghawi), Al Muntaqa –syarah Al- Muwaththa- (Abul Walid Al Baaji).
5. Dari abad VI dan VII :
a. Kitab-kitab maudhu’at : Al Abaathil wa Manakir (Al Husain Al Jauzaqani), Al Maudhu’at (Al hafizh Abul Faraj Ibnu Al Jauzi).
b. Kitab-kitab Ahkam : ‘Umdatul Ahkam (Abdulghani Al Maqdisi), Al Ahkam Al Kubra (Majduddin Abdussalam Ibnu Taimiyah), Al Ilmaam fi bayani Adilatil-ahkaam (Al izz abdissalam), Al Ilmaam fi Ahaadits-Ahkam (Ibnu Daqiq Al-Ied).
c. Kitab-kitab gharibul hadits : Gharibul hadits (Ibnul jauzi), An Nihayah fi Gharibil-hadits (Ibnu atsir Al Jazari).
d. Kitab-kitab athraaful hadits: Al Isyraaf ‘ala ma'rifatil Athraaf (Ibnu Asakir).
e. Kitab syarah hadits : Syarh Shahih Muslim (Ibnu Sholah), Al Minhaj fi Syarhi shahih Muslim Ibnil-Hajjaj (An Nawawi).
f. Kitab-kitab berkaitan dengan At Targhib wattarhib : At Targhib wattarhib (Al Mundziri), Riyaadhush Shalihin (An Nawawi).
6. Dari abad VIII dan XI
a. Kitab-kitab syarah hadits: Fathul Baari (Al hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani).
b. Kitab-kitab takhrij : Nashbur Raayah li ahaaditsil hidaayah (Az Zaila’i), At Talkhish Al Habir (Al hafizh Ibnu hajar).
c. Kitab-kitab Jawaami’ : Jaami’ul masaanid (Ibnu Katsir).
d. Kitab-kitab Zawaaid : Kasyful Aatsaar ‘an Zawaa-id al Bazzar, Majma’uz- Zawaid wa Manba’ul-fawaaid, Mawariduzh zham’an ilaa Zawaa’id Ibnu Hibban dan sebagainya (Al Haitsami), Al Mathaalib al Aliyah fi Zawaa-id al Masaanid ats Tsamaniyah(Ibnu Hajar), Ithaaful Khiyarah al Maharah bizawaa-id Masaanis al ‘Asyarah (Al Buushiri) dan lain-lain.
e. Kitab-kitab Athraaf : Tuhfatul asyraaf bima’rifatil athraaf karya Al Hafizh Al Mizzi.
f. Kitab-kitab Ahkam: Al Muharrar fi ahadits-Ahkam (muhammad bin Ahmad Al Maqdisi), BulughurlMaram (Ibnu Hajar), Tharhut Tastrib fi Syarhit-Taqrib (Al-Iraq).
g. Kitab-kitab maudhu’at: Ahaaditsul-Qushshaash (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).

7. Dari abad IX hingga abad XIV:

a. Yang berkaitan dengan syarah hadits : Syarh Sunan An Nasaai (As Suyuthi), Mishbahuz-Zujajah Syarah Sunan Ibnu Majah (As Suyuthi), Nailul Authar Syarhu Muntaqa akhbar (Asy-Syaukani),Subulussalam Syarh Bulughul Maram (Ash Shan’ani), Al Faidhul Qadir (Al Munawi) dan sebagainya.
b. Yang berkaitan dengan Jawami’: Jam’ul Jawami’ dan Al Jami’ As Shagir (As Suyuthi), Kanzul ‘Ummaal (Alauddin Qadhi Khan Al Hindi).
c. Yang berkaitan dengan maudhu’at: Al La-ali Al Mashnu’ah (As Suyuthi), Al Fawaaid Al Majmu’ah (Asy Syaukani), Tanzih Asy Syari’ah Al Marfu’ah (Ibnu Arraq Al Kinani), Al Asrar al Marfu’ah ‘anil Ahadits al Maudhu’ah (Mula Ali Al Qari).
 
8. Dari abad XIV hingga kini.
a. Yang berkaitan dengan syarah hadits : ‘Aunul Ma’bud syarhu Sunan Abi Daud (Syamsul  Haq Azhim Abadi), Tuhfatul Ahwadzi syarah Jami’ At Tirmidzi (Al Mubarakfuri) dan lain-lain.
b. Yang berkaitan dengan takhrij hadits : Irwaa-ul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaarissabiil (Al Albani).

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

Referensi:
1. Tadwin As Sunnah, Syaikhuna Prof Dr. Muhammad bin Mathar Az Zahrani.
2. As Sunnah qabla At-Tadwin, Dr. Muhammad Ajaj Al Khatib.
3. Buhuts fi tarikh As Sunnah Al Musyarrafah, Dr. Akram Dhiya Al Umari.
4. Al Wadh’u fil hadits, Dr. Umar bin Hasan Fallatah.
5. Ar Risalah Al Mustatharafah, Al Imam As Sayyid Muhammad bin Ja’far Al Kattani.
6. Tathawwur Diraasaat As Sunnah An Nabawiyah, Dr. Faruq Hamadah.
7. Bahtsun fi Tadwin As Sunnah An Nabawiyah Fi Al Qarnil Khamis Al Hijri,penulis.

0 komentar: