BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sistem
Riwayat Hadits
Dalam sistem periwayatan hadis, sahabat dianggap sebagai mata rantai
pertama dan paling kritis dalam mata rantai yang menghubungkan hadits dengan
Nabi SAW. Masalah yang tidak kurang penting dari keandalan sahabat adalah cara
literatur hadits dan disampaikan sesudah mereka. Isu utamanya sederhana, yaitu
apakah proses penyampaian hadits cukup dapat dipercaya, paling tidak untuk
menjamin tidak adanya penyimpangan dalam inti hadits asli tentang Nabi SAW?
Pertanyaan ini membawa kita pada banyak subtopik. Kapankah hadits pertama
ditulis? Apakah penyampaian hadits sepenuhnya secara lisan atau tertulis?
Apakah penyampaian secara lisan, terutama penyampaian makna (bil ma’na)
dan bukan penyampaian kata demi kata (bil lafzh), dapat dianggap andal
untuk melestarikan sunnah?
Pada era Nabi SAW, kaitannya dengan penulisan hadits, Nabi menyampaikan
sejumlah larangan sekaligus perintah. Kongritnya, dalam hadits yang melarang
sahabat menulis sesuatu selain al Qur’an, ternyata setelah dilakukan
penyelidikan lebih lanjut, terdapat illat khusus bagi pelarangannya
yaitu karena adanya naskah yang ditulis dalam selembar kertas yang didalamnya
bercampur antara al Qur’an dengan naskah lain. Namun, dalam pernyataan Nabi SAW
di hadits yang lain, Nabi SAW justru menyuruh untuk menuliskan hadits.
Contohnya adalah hadits yang menyuruh sahabat menulis hadits kepada Abu Syah.
Dengan demikian, ketika ada sesuatu yang awalnya dilarang, namun kemudian
justru ada perintah yang menunjukkan kebalikannya, maka itu menunjukkan
kebolehan melakukan hal itu, yakni penulisan dan pelestarian sumber keagamaan
tersebut (hadits).
Berangkat
dari sini dapat dipahami, diakui atau pun tidak, bahwa apa yang diucapkan,
dilakukan, serta ditetapkan oleh Nabi banyak sekali yang tidak ditulis oleh
para sahabat.
Meskipun demikian, juga tidak menafikan bahwa penulisan hadits telah ada
sejak zaman Nabi SAW. Paling tidak ini dapat dibuktikan oleh Musthafa al Siba’i
dengan memberikan beberapa bukti, antara lain:
a.
Rasulullah menulis surat kepada
raja-raja zamannya dan amir-amir jazirah Arabia untuk menyeru mereka kepada
Islam,
b.
Sebagian sahabat memiliki shuhuf,
“lembaran-lembaran bertulis” yang didalamnya berisi catatan tentang apa yang
mereka dengar dari Rasulullah, seperti lembaran ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash
yang dinamainya al Shadiqah.
c.
Rasulullah menulis surat kepada
sebagian petugas Beliau yang berisi ketentuan
ketentuan zakat unta dan domba.
Melihat keterangan diatas berarti anggapan yang berkembang selama ini bahwa
Ibn Syihab al Zuhri adalah orang pertama yang menulis hadits telah
terbantahkan. Mungkin lebih tepatnya, Ibn Syihab al Zuhri hanyalah orang
pertama yang disponsori secara resmi oleh pemerintah, khalifah Umar ibn Abd al
Aziz, untuk mengumpulkan hadits. Dengan kata lain, pengumpulan hadits tertulis
oleh pribadi telah umum dilakukan, tetapi tidak seperti al Qur’an, sampai
kemudian pada masa Ibn Syihab al Zuhri, hadits menjadi fokus upaya resmi
regulasi atau sistematisasi.
Seperti kita lihat, sebagian hadits hampir pasti ditulis pada tahap awal,
tetapi tidak secara formal dan tidak sistematis. Kumpulan hadits secara
sistematis baru didapati pada karya Imam Malik, al Muwatha’, yang
dijuluki mushannaf karena mengklasifikasikan hadits sesuai dengan
subyeknya.
Walaupun demikian, Imam Malik belum menggunakan standar formal kritisisme
dalam menyeleksi hadits. Baru pada masa generasi setelahnya dikembangkan metode
kritis keaslian hadits dengan merujuk kepada isnad hadits-hadits
tersebut. Jelasnya, isnad baru digunakan secara luas pada abad kedua
hijriah, dimana para penyusun koleksi shahih mulai memaparkan aturan
formal untuk menilai keotentikan hadits atas dasar isnad-nya.
Mereka harus menyaring semua hadits yang dapat mereka temukan, dan memilih
hadits yang isnad-nya memenuhi standar yang ketat.
Ketika isnad dijadikan standard untuk menilai keotentikan hadits,
secara tidak langsung, berarti memberikan pengertian kepada kita betapa
pentingnya sistem periwayatan hadits, walaupun tidak menjadi persyaratan dasar
dalam penentuan maqbul – mardud-nya hadits. Namun begitu, sistem
periwayatan ini dapat mempengaruhi dalam thariqah tarjih, yakni bila ada
dua hadits maqbul yang saling bertentangan.
Secara umum, terdapat 8 macam sistem dan cara penerimaan dan penyampaian
hadits, yaitu:
1.
“Sama’ min
lafdz al Syaikh”, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik
secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Cara sama’
ini sangat tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya
pengungkapan riwayah. Adapun lafadz-lafadz yang digunakan oleh rawi
dengan cara sama’ ini adalah seperti akhbarany, haddatsany atau
sami’tu.
2.
“al Qira’ah
‘ala al Syaikh” (‘aradh), yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik dia
sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar yang meriwayatkan.
Lafadh-lafadhnya seperti qara’tu ‘alaih, quri’a ‘ala fulan wa ana asma’u dan
hadatsana qira’atan ‘alaih.
3.
“Ijazah”, yakni
pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits
darinya atau dari kitab-kitabnya. Lafadhnya ajaztu laka........
4.
“Munawalah”,
yaitu seorang
guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah
dikoreksinya untuk diriwayatkan.
5.
“Muktabah”, yaitu
seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis
beberapa hadits kepada orang lain ditempat lain atau yang ada dihadapannya.
6.
“Wijadah”, yaitu
memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’,qira’ah,
maupun selainnya, dari pemilik tulisan tersebut. Lafadhnya seperti qara’tu
bi khaththi fulan, atau wajadtu bi khaththi fulan.
7.
“Washilah”, yaitu pesan
seseorang di kala akan meninggal atau bepergian dengan sebuah kiotab atau
tulisan supaya diriwayatkan.
8.
“I’lam”, pemberitahuan
guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya
sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar
si murid meriwayatkannya.
Dari berbagai macam cara atau sistem periwayatan tersebut terlihat bahwa
proses periwayatan hadits ditekankan pada superioritas penyampaian hadits
secara langsung, pribadi, dan lisan, sedangkan tulisan hanyalah untuk membantu
mengingat. Menurut argumen umum, penyampaian hadits secara lisan tidak hanya
dapat dipercaya tetapi juga lebih baik daripada dokumen-dokumen yang tersebar.
Lebih jauh lagi, keandalan penyampaian hadits secara lisan ini juga
dijamin dengan daya ingat orang-orang Arab yang luar biasa. Hal ini berbeda
dengan catatan tertulis yang memiliki sedikit nilai karena tanpa dibuktikan
kebenarannya oleh saksi yang hidup.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa awal, terlepas dari banyak
sedikitnya, telah terjadi 2 cara penyampaian hadits yang disandarkan kepada
Nabi, yaitu secara lisan dan juga melalui media tulisan.
Namun demikian, kenyataan yang terjadi penyampaian dengan lisan tampaknya
lebih populer. Contoh kongrit adalah apa yang disampaikan oleh Umar bin
Khaththab dan al Bara’ bin ‘Azib yang berkata, “Tidak semua hadits kami
mendengarnya dari Rasulullah SAW secara langsung. Ketika para shahabat
menyampaikannya kepada kami, pada waktu itu kami sibuk dengan menggembala onta.
Dalam hal ini, langkah yang kami ambil adalah meminta kepada para shahabat
yang pernah mendengarnya untuk mengulang kembali, terutama dari mereka yang
kuat hafalannya.”
Lebih populernya sistem periwayatan secara lisan bila dibandingkan dengan
periwayatan secara tulisan mungkin disebabkan jumlah antara sahabat yang
menulis dan yang tidak menulis masih jauh lebih banyak yang tidak menulis
tentang segala hal yang disandarkan kepada Nabi. Padahal, dengan lebih
ditekankannya pada penyampaian secara lisan, maka tidak menutup kemungkinan
terjadi penyampaian yang tidak sama persis redaksinya karena sahabat sendiri
tidak semua menulis ketika bersama Nabi, juga secara sadar tidak menghafal kata
per kata Nabi. Disini hal terbaik yang dapat mereka lakukan adalah menyampaikan
yang mereka ingat. Dalam hal ini tentunya para muhadditsun tidak punya
pilihan lain kecuali menerima penyampaian semacam ini meskipun akan menimbulkan
akibat, yaitu pada saat kata berubah, maknanya pun berubah.
Hal demikian dapat kita lihat pada hadits Nabi tentang suatu peristiwa,
namun disampaikan shahabat dengan redaksi yang berbeda-beda, misalnya
hadits Nabi:
أ.
أَهْرِيقُوا عَلَيْهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ دَلْوًا مِنْ مَاءٍ
ب.
أَهْرِيقُوا عَلَيْهِ ذَنُوبًا أَوْ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ
ت.
أَهْرِيقُوا عَلَيْهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ دَلْوًا
Dengan kenyataan seperti ini, memunculkan pendapat bahwa sebenarnya riwayat
hadits pada periode shahabat sampai dengan periode kodifikasi
kitab-kitab hadits adalah riwayat hadits bil ma’na, dan hal demikian
memang biasa terjadi. Namun begitu, bukan berarti riwayat hadits bil alfaadz
tidak ada sama sekali, malah merupakan suatu yang lumrah.
Tetapi walaupun demikian, Jumhur ulama’ telah membolehkan riwayat
hadits bil ma’na dengan beberapa persyaratan yang begitu ketat dengan
maksud agar yang diriwayatkan itu benar-benar sesuai dengan apa yang
dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya.
Kembali pada masalah munculnya bias makna - saat kata berubah, maknanya pun
berubah- yang ditimbulkan dari sistem periwayatan, serta jauhnya masa Nabi
dengan masa kodifikasi hadits, maka untuk mengeliminir keraguan-keraguan bahwa
hadits benar-benar berasal dan bersandar pada apa yang diucapkan, dilakukan dan
ditetapkan oleh Nabi, maka generasi selanjutnya mengembangkan disiplin ilmu
hadits, dimana dalam salah satu kajiannya memunculkan konsep hadits shahih,
hasan, ataupun dlaif. Salah satu contoh misalnya kriteria tentang
hadits shahih, yaitu rawi-nya harus ‘adl, dlabith,
sanad-nya bersambung, matan-nya marfu’, tidak ada ‘illat,
dan tidak janggal.
Disamping itu, satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa dalam memahami
hadits sangat banyak diperlukan disiplin ilmu pengetahuan yang harus dimiliki,
disamping beberapa aspek lain yang perlu diperhatikan.
Dalam kenyataannya, yang kita lihat atau metode pemahaman hadits yang
digunakan masih berupa generalisasi, artinya semua hadits dipahami secara sama,
tanpa membedakan struktur dari hadits, riwayat bil alfaadz atau bil
ma’na, bidang isi hadits yang muthlaq atau muqayyad, yang
menyangkut akidah, ibadah, atau muamalah. Dengan kata lain mayoritas umat Islam
memahami hadits dengan pendekatan tekstual dan baru sebagian kecil yang
mengembangkannya melalui pendekatan kontekstual, baik konteks histories,
psikologis, sosiologis maupun konteks antropologis.
BAB III
KESIMPULAN
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa awal, terlepas dari
banyak sedikitnya, telah terjadi 2 cara penyampaian hadits yang disandarkan kepada
Nabi, yaitu secara lisan dan juga melalui media tulisan.
Namun demikian, kenyataan yang terjadi penyampaian dengan lisan tampaknya
lebih populer. Contoh kongrit adalah apa yang disampaikan oleh Umar bin
Khaththab dan al Bara’ bin ‘Azib yang berkata, “Tidak semua hadits kami
mendengarnya dari Rasulullah SAW secara langsung. Ketika para shahabat
menyampaikannya kepada kami, pada waktu itu kami sibuk dengan menggembala onta.
Dalam hal ini, langkah yang kami ambil adalah meminta kepada para shahabat
yang pernah mendengarnya untuk mengulang kembali, terutama dari mereka yang
kuat hafalannya.”
Lebih populernya sistem periwayatan secara lisan bila dibandingkan dengan
periwayatan secara tulisan mungkin disebabkan jumlah antara sahabat yang
menulis dan yang tidak menulis masih jauh lebih banyak yang tidak menulis
tentang segala hal yang disandarkan kepada Nabi. Padahal, dengan lebih
ditekankannya pada penyampaian secara lisan, maka tidak menutup kemungkinan
terjadi penyampaian yang tidak sama persis redaksinya karena sahabat sendiri
tidak semua menulis ketika bersama Nabi, juga secara sadar tidak menghafal kata
per kata Nabi. Disini hal terbaik yang dapat mereka lakukan adalah menyampaikan
yang mereka ingat. Dalam hal ini tentunya para muhadditsun tidak punya
pilihan lain kecuali menerima penyampaian semacam ini meskipun akan menimbulkan
akibat, yaitu pada saat kata berubah, maknanya pun berubah.
DAFTAR PUSTAKA
www.banyubeningku.blogspot.com/sistem-periwayatan-hadis.html
di unduh pada 27/09/2013 jam 20:03
sistem-meriwayatkan-hadits.html
di unduh pada 27/09/2013 jam 20:04
Soetari, Endang, Ilmu
Hadits, Bandung: Amal Bakti Press, Cet. II, 1997
Zuhri, Muh., Hukum
Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1997
Brown, Daniel W., Menyoal
Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti, Bandung: Mizan,
2000
0 komentar:
Posting Komentar