Oleh: M. Chairil Akbar
Setiawan*
Terminologi
globalisasi secara umum merujuk pada suatu fenomena integrasi dan intensifikasi
aktifitas ekonomi-politik negara-negara ke dalam bentuk sistem ekonomi berbasis
pasar. Globalisasi bergerak sangat jauh dengan mengeliminir sekat teritorial
dan menembus hambatan proteksionisme yang selama ini cenderung dipraktekkan di
banyak negara. Eskalasi relasi ekonomi ini dipicu oleh sebuah proyek globAZal
yang menjanjikan kesejahteraan bersama bagi seluruh masyarakat dunia. Secara
empirik, globalisasi menjanjikan ruang dan kesempatan yang luas bagi penciptaan
peluang ekonomi dan bisnis lewat aliran perdagangan, investasi, dan
industrialisasi.
Hal ini
semakin jelas terlihat paska perang dingin tahun 1990. Kecenderungan hubungan
internasional telah bergeser sangat signifikan ke arah pola yang sangat
ekonomistik. Hubungan interdependsensi adalah tren yang didorong sebagai pemicu
kerjasama ekonomi yang lebih maksimal. Sejumlah institusi internasional dibangun
berikut kesepakatan-kesepakatannya dalam rangka mencetak formasi dunia yang
lebih berkembang dan maju. Oleh karenanya, pada konteks ini globalisasi menjadi
semacam logika bersama (common sense) bahwa dunia wajib memasuki babak
baru dan meninggalkan realitas lama berupa agresi militer, konflik, dan perang.
Sekilas
deskripsi di atas menunjukan bahwa globalisasi bergerak bersama komitmen
kesejahteraan dan kemajuan bagi masyarakat dunia. Hal ini juga diperkuat oleh
sejumlah pernyataan diplomatik dan propaganda perluasan agenda pasar bebas di
banyak negara. Sehingga apa yang dihasilkan dari diskursus dan fenomena
globalisasi adalah realitas yang berwajah tunggal. Hal inilah yang justru
menghasilkan pertentangan dari sebagian kelompok yang skeptik atau bahkan
menolak globalisasi. Peristiwa politik terkenal di Seattle 1999 di AS menjadi
pukulan telak sekaligus indikator nyata bahwa globalisasi mendapatkan kecaman
dan serangan tajam.
Untuk
mengawali polemik dan pembongkaran terhadap proyek globalisasi dengan doktrin
neoliberalismenya, ada sebuah pertanyaan sederhana: Apakah memang globalisasi
merupakan fenomena alamiah sebagai bentuk evolusi sejarah? Ataukah ia tidak
lebih sebagai produk yang dicetak dari skenario segelintir pihak dengan
selubung kepentingan tertentu?
Untuk
menganalisa globalisasi dari kacamata yang berbeda ada sejumlah perspektif yang
dapat dikedepankan. Marxisme adalah salah satunya. Tradisi pemikiran Marxian
dikenal secara keras menentang legitimasi dan justifikasi a la
liberalisme ekonomi sejak abad kapitalisme mulai berjaya di eropa. Marxisme
mendesain kritik dan sorotannya terhadap kapitalisme global (globalisasi
neoliberal) dengan cara yang berbeda dan sangat tipikal. Gagasan dan praktek
kapitalisme perlu dipahami bukan hanya sebagai mekanisme atau tata kelola
ekonomi an sich tapi juga berusaha melampaui itu. Dominasi dan eksploitasi yang
selama ini terselubung dalam tubuh kapitalisme adalah sasaran utama serangan
tradisi pemikiran ini.
Globalisasi
dalam Perspektif Marxisme
Untuk memahami gagasan marxisme maka perlu diawali dengan pemahaman tentang instrumen filosofsinya. Marx merumuskan sebuah kerangka berpikir yang disebut dengan materialisme dialektika historis. Filsafat ini secara umum memandang realitas sosial sebagai produk dari dialektika kondisi material (faktor produksi dan mode produksi) dalam konteks antagonisme kelas. Sejarah formasi masyarakat dibentuk oleh aktifitas ekonomi manusia dengan wujud produksi.
Untuk memahami gagasan marxisme maka perlu diawali dengan pemahaman tentang instrumen filosofsinya. Marx merumuskan sebuah kerangka berpikir yang disebut dengan materialisme dialektika historis. Filsafat ini secara umum memandang realitas sosial sebagai produk dari dialektika kondisi material (faktor produksi dan mode produksi) dalam konteks antagonisme kelas. Sejarah formasi masyarakat dibentuk oleh aktifitas ekonomi manusia dengan wujud produksi.
Secara
sederhana diartikan bahwa fenomena sosial lahir dari segenap perubahan kondisi
atau lingkungan dimana basis ekonomi menjadi faktor esensial yang mempengaruhi
tatanan dan dinamika peradaban manusia. Kondisi materiallah yang melahirkan
pola pikir dan kesadaran manusia bukan sebaliknya. Marx menyatakan :
“In the social production of their existence, men
inevitably enter into definite relations of production appropriate to a given
stage in the development of their material forces of production. The totality
of these relations of production constitutes the economic structure of society,
the real foundation, on which arises a legal and political superstructure and
to which correspond definite forms of social consciousness. The mode of
production of material life conditions the general process of social, political
and intellectual life.”1
Secara
historis, globalisasi diyakini sebagai langkah sistematis dari para pemilik
modal dan elit- elit politik yang menjadi afiliasinya. Sejak beberapa dekade
yang lalu aktifitas perdagangan telah mewarnai tahap baru perkembangan dinamika
ekonomi dunia. Perdagangan dan investasi yang massif digerakkan oleh
negara-negara imperial pada dasarnya berdiri diatas prinsip monopoli dan
dominasi. Sumber utama kritik marxisme berasal dari kapitalisme. Inilah sistem
ekonomi yang diklaim sebagai pola penghisapan manusia.
Menurut
riset Hirst dan Thompson, pada abad 14 telah berdiri dan berjalan sebuah
perkumpulan dagang dari Jerman bernama hansaetic league. Perusahaan ini
menjalankan operasi ekonominya di wilayah eropa barat. Pada akhir abad yang
sama juga, sekitar 150 bank dari Italia sudah menjalankan usahanya di berbagai
negara. Selanjutnya, pada abad 17 dan 18 negara-negara mulai ikut aktif
mendukung berdirinya perusahaan-perusahaan dagang kolonial, seperti dutch
east india company, british east india company,mucovy company, royal Africa
company, dan Hudson bay company. Semua perusahaan ini mempelopori
perdagangan berskala besar di wilayah yang kelak menjadi wilayah jajahan yang
penting.2
Berdasarkan
fakta sejarah ini, James Petras lalu membagi tahapan perkembangan globalisasi
dalam 3 fase. Fase pertama dimulai ketika abad 15 bersamaan dengan ekspasnsi
negara-negara Eropa dan tumbuhnya kapitalisme, kolonialisme di sejumlah negara
di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Bangsa kulit putih juga menunjukan
superioritas dengan menaklukan daerah-daerah seperti Amerika Utara dan
Australia.
Dengan
demikian, globalisasi adalah proyek besar yang berdampingan dengan imperialisme
negara Eropa yang menindas dan menghisap dunia ketiga. Fase kedua, globalisasi
dibangun di era inter imperial trade (perdagangan antar kaum
imperialis). Hal ini direfleksikan dari perdagangan dan kerjasama antar
kelompok Negara maju seperti sesama negara Eropa, lalu dengan Amerika, Jepang,
yang akhirnya membentuk blok ekonomi dan kooperasi yang kuat. Pada konteks ini,
globalisasi mengarah pada kompetisi dan kolaborasi antar negara dan perusahaan
multinasional dalam mengeksploitasi pasar yang ada.
Pada fase
ketiga, globalisasi akhirnya melangkah pada fase international trade
(perdagangan internasional). Pada fase inilah terjadi intensifikasi perdagangan
internasional dengan skala dan cakupan yang jauh lebih besar dibanding
sebelumnya. Negara-negara maju dan MNC memainkan peranan yang sangat krusial
dalam membentuk tatanan ekonomi politik global hari ini. Di kemudian hari,
eksistensi dan pengaruh lembaga-lembaga keuangan internasional ikut mewarnai
hegemoni globalisasi neoliberal. Arus neoliberalisme mulai berjaya sejak dekade
1980an sampai sekarang. Ide dan resep kebijakan neoliberal banyak disebarluaskan
oleh lembaga-lembaga seperti IMF, Bank Dunia, WTO, atau G8. sehingga terjadilah
perombakan besar-besaran dalam skema kebijakan ekonomi-politik banyak negara di
dunia.
Sebelum
beranjak lebih jauh pada pandangan Marxian terhadap globalisasi, maka ada
baiknya menengok konsep dasar ekonomi kapitalisme menurut Marx yang disebut
dengan akumulasi Kapital. Hal ini menjadi penting karena akumulasi Kapital
adalah bagian inheren dalam globalisasi ekonomi. Dalam kapitalisme terdapat dua
jenis reproduksi. Yang pertama adalah reproduksi sederhana dan yang kedua
akumulasi kapital. Reproduksi sederhana adalah proses penciptaan nilai lebih
lewat produksi tanpa upaya reproduksi kapital lewat investasi. Artinya nilai
lebih atau profit langsung dipakai habis untuk kebutuhan si kapitalis.
Sedangkan akumulasi kapital mengarah pada watak produksi yang berupaya terus
mereproduksi kapital lewat investasi.
Jadi
keuntungan yang diperoleh akan dimanfaatkan kembali untuk memperluas usaha dan
skala produksi. Pada akhirnya, terjadilah penumpukan nilai lebih atau
keuntungan. Kapital mesti mengalir dari suatu tempat, lokasi, wilayah, negara
ke tempat, lokasi, wilayah, dan negara berbeda. Jika tidak, produksi kapitalis
akan bangkrut.3
Ketika
menganalisa globalisasi, terdapat sejumlah poin substansial yang diperoleh
berdasarkan cara analisa Marxian. Pertama, proses masifikasi kegiatan ekonomi
yang berwujud globalisasi dicirikan oleh pembagian kerja internasional. Hal ini
terjadi sebagai konsekuensi logis dari praktek kapitalisme dalam masyarakat.
Relasi produksi kapitalisme bersifat hierarkis dan timpang yang kemudian
berujung pada pembagian kerja sosial. Formasi sosial dibelah oleh dua kutub
kelas yaitu kelas yang menguasai dan mengontrol faktor-faktor produksi dan
kelas yang tidak punya apa-apa kecuali tenaga kerjanya yang dijual. Konteks ini
juga berlaku pada interaksi ekonomi di level global.
Kelas
kapitalis yang berada di negara imperial maupun non-imperial mengontrol bentuk
pembagian kerja. Mereka mendesain pola kerja dengan menciptakan investasi dan
industrialisasi di negara-negara miskin. Tenaga kerja buruh murah dimanfaatkan
untuk maksimalisasi perolehan profit dan kemudian dibawa keluar ke negara asal
kapitalis atau investor. Pola kerja ini dibungkus rapi dalam kerangka kerjasama
ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan. Padahal posisi negara miskin jelas
sangat inferior dan berfungsi sebagai pemasok tenaga buruh murah bagi korporasi
dan negara-negara imperial. Sehingga, pada dasarnya kerja para buruh industrial
adalah gejala utama dari semakin masifnya arus kapitalisme.
Yang kedua,
perluasan atau ekspansi pasar. Logika kerja kapitalisme adalah mendorong proses
produksi yang tanpa batas. Prinsip ini dibangun oleh kerangka kapitalisme yang
tidak boleh terinterupsi oleh batasan dan campur tangan Negara. Pasar hanya
dapat berjala maksimal dan efektif jika dituntun oleh mekanisme internalnya
sendiri. Pada gilirannya, hal tersebut secara otomatis menstimulir pembukaan
pasar pasar baru. Kombinasi antara keseimbangan kapasitas produksi dengan
tingkat konsumsi beserta akumulasi kapital akan menciptakan potensi krisis
dalam pasar domestik. Hal ini terjadi karena barang yang diproduksi dalam skala
massif tidak akan pernah dapat terserap sepenuhnya oleh pasar dalam negeri.
Dengan demikian, satu-satunya opsi adalah ekspansi pasar. Penciptaan pasar baru
adalah kunci bagi akumulasi dan maksimalisasi profit.
Perluasan
produksi dan pasar merupakan karakter dasar kapitalisme dalam sejarahnya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Marx :
‘’The bourgeoise cannot exist without constantly
revolutionizing the instrument of productions,and thereby the relation of
productions and with them the whole relation of society…the bourgeoise during
its rule of scarce one hundred years has created more massive and more colossal
productive forces than have all preceeding generations together”4
Pada titik
inilah, alasan atas imperialisme dan kolonisasi menjadi sangat rasional. Dalam
beberap abad, dunia pernah dikontrol oleh sejumlah negara imperial seperti
Inggris, Portugis, Belanda, Spanyol, atau Perancis. Mereka melakukannya demi
akumulasi kapital sekaligus mengobati krisis internal dalam pasar domestiknya.
negara koloni menjadi sumber penghasil faktor-faktor produksi, tenaga buruh,
juga pasar yang cukup potensial. Eksploitasi dan penjarahan ini berlangsung
secara terbuka maupun terselubung. Dahulu imperialisme ditopang oleh agresi
militer dan perang namun sekarang dominasi kapital dijaga dan ditegakkan oleh
hegemoni yang disertai dengan sejumlah intimidasi politik dan manipulasi.
Namun
begitu, kekuatan militer dan agresi masih menjadi opsi alternatif jika cara
pertama gagal. Kasus ini terlihat dari invasi AS yang didukung oleh negara kaya
lainnya ke Afganistan 2001 dan Irak 2003. Fakta paling mencolok dari
eksploitasi modern adalah kejayaan korporasi raksasa internasional yang telah
menjadi kekuatan utama ekonomi dunia.
Yang ketiga
adalah analisis kelas. Globalisasi dalam kerangka marxisme bukanlah fenomena
lazim dengan misi membawa kemakmuran bagi semua pihak tapi lebih sebagai sebuah
proyek kelas. Analisa kelas adalah salah satu tinjauan paling penting dalam
perspektif marxisme. Tatanan kapitalisme adalah bentuk evolusi dari kontradiksi
ekonomi-politik yang berbasis pada antagonisme kelas. Pertentangan kelas dalam
masyarakat yakni antara borjuasi dan proletar adalah sumbu dari lahirnya bentuk
atau corak peradaban modern.
Gagasan ini
secara frontal menolak dan menyerang asumsi bahwa formasi sosial dibengun oleh
dialektika ide, kerjasama, atau analisa lain yang berlandaskan pada perubahan
mekanis sejarah. Sehingga dalam melihat sejarah, peran dan eksistensi kelas
menjadi sangat esensial dalam pandangan kaum Marxian. Sebgaimana yang
dinyatakan oleh Marx dalam german ideology dan communist manifesto
:
“The ideas of rulling class are in every epoch are the
rulling ideas…the rulling ideas are nothing more than the ideal expression of
the dominant material relationship which make the one class the rulling one,
therefore, the idea of its dominance”5
Dalam
konteks globalisasi pun wajib dilihat berdasarkan analisis kelas. Terbangunnya
tatanan imperium kapital dunia adalah rekayasa dari kelas borjuasi yang
diwakili oleh korporasi raksasa, bank swasta, dan didukung oleh elit-elit
politik berhaluan neoliberal. Proyek kelas ini bertujuan untuk mereproduksi
ketergantungan struktural dan akumulasi kapital di negara-negara miskin.
Seperti pada proyek kapitalisme lain (moderninsasi, industrialisasi,
pembangunan, dan kolonialisme) bentuk imperialisme selalu mengandung
kontradiksi yang selanjutnya membentuk kekuatan-kekuatan oposisi dan resistensi
yang dalam keadaan tertentu mampu merusak proses akumulasi modal dan juga
sistem yang menjadi tempatnya bergantung.6
Substansi
lain dari analisis kelas yaitu perkembangan masyarakat merupakan produk dari
konflik kelas yang berujung pada kekerasan dan negasi. Kemenangan
neoliberalisme lewat globalisasi tidak hanya bisa dilihat dari hegemoniknya
propaganda dan doktrin neoliberal dalam mendominasi wacana pembangunan ekonomi.
Jika hanya bertumpu pada analisis ini maka sama halnya memandang bahwa
transformasi sosial berasal dari atas lewat instrumen ide. Hal ini jelas
bertentangan dengan dialektika ekonomi-politik yang terjadi lewat perebutan dan
perang. Fakta menunjukan bahwa penggunan cara-cara koersif lewat kekerasan
adalah bidan yang melahirkan babak baru sejarah dan langkah awal pembentukan
tatanan sosial yang berbeda. Imperialisme dan kolonialisme hanya bisa terjadi
lewat penundukan dengan senjata dan militer.
Salah satu
contoh paling relevan untuk pandangan ini adalah fenomena hubungan buruh
industrial dengan perusahaan di AS pada era great depression dekade 1930-an.
Dibawah pemerintahan Franklin Delano Rosevelt relasi antara buruh dan
perusahaan serta pemerintah bisa dikatakan sangat dekat dan cukup ”harmonis”.
Hal ini disebabkan oleh kuatnya tekanan dan oposisi kelas pekerja dalam wadah
serikat pekerja yang menuntut perbaikan upah dan kondisi kerja. namun kondisi
berubah drastis ketika fase malaise berakhir paska perang dunia kedua.
Masyarakat di AS termasuk kelas pekerja relatif mampu menikmati kehidupan yang
lebih baik dibanding sebelumnya. Kelas pekerja terlena oleh gaya hidup borjuis
dan perbaikan upah.
Ternyata hal
ini berdampak sangat serius pada politik organisasi kelas pekerja. Serikat
pekerja mulai melemah ditandai oleh penurunan sangat signifikan pada jumlah
anggota serikat pekerja dan aktifitas politiknya. Akhirnya bencana pun datang!
Dunia kembali diguncang krisis pada dekade 1970-an. Kapitalisme kembali
diterjang krisis siklikalnya dan ikut menyapu kehidupan masyarakat AS. Momentum
ini akhirnya menjadi gerbang masuknya ide dan implementasi neoliberalisme.
Dibawah pemerintahan Ronald Reagen, AS secara drastik memutar haluan
ekonomi-politiknya dari model Keynessian menuju neoliberalisme. Kebijakan
berwatak neoliberal dijalankan tanpa resistensi apa-apa akibat melemahnya
posisi politik serikat pekerja. Dan ketika mencoba melawan proyek pasar bebas
Reagan, kelas pekerja justru semakin terpojok dan dilumpuhkan.
Aksi pertama
Reagan, yang kemudian menjadi penanda kebangkrutan gerakan buruh AS, ketika ia
memecat 11.345 buruh PATCO (Professional Air Traffic Controllers
Organization) yang terlibat dalam demonstrasi pada 3 Agustus 1981. Hanya
500 anggota PATCO yang diterima kembali (rehired) untuk bekerja.7
Fenomena yang sama juga terjadi inggris dan banyak negara eropa lainnya. Tidak
ada resistensi dan pertentangan yang muncul dari kelas pekerja karena posisi
mereka semakin lemah oleh pemerintahan yang memasung perjuanagan buruh secara
militeristik.
Di Amerika
Latin, kekuatan oposisi dilenyapkan oleh rezim yang dikenal sangat dekat dengan
AS dan pro pasar bebas. Kudeta dan penggulingan kekuasaan pemerintahan populis
adalah hal yang cukup lumrah di kawasan ini. Kasus dengan substansi yang sama
juga menimpa Indonesia. Kemenangan kelas borjuasi diperkuat oleh semakin
memudarnya radikalisasi dan aksi langsung dari gerakan buruh yang justru juga
diperparah oleh fragmentasi gerakan dan politik kooptasi dari rezim neoliberal
di Indonesia.
Keempat
adalah teori imperialisme dalam tradisi Marxian. Teori imperialisme pada
prinsipnya menggambarkan realitas dominasi kapital yang digerakan oleh sistem
dan metode dalam tubuh kapitalisme demi mencapai akumulasi kapital. Fenomena
ini pada gilirannya mewajibkan eksploitasi dan penjarahan di negara-negara
miskin atau pada level kelas pekerja yang dimobilisir oleh kekuatan politik
negara dan militer. Pada dasrnya Karl Marx sendiri tidak pernah memformulasikan
teori imperialisme.8
Namun begitu
Marx telah meletakan sejumlah poin penting menjadi landasan terbentuknya teori
imperialisme. Beberapa pemikir Marxist merumuskannya adalah Vladimir Lenin,
Rudolf Hilferding, Nicolai Bukharin, Rosa Luxemburg, Immanuel Wallerstein,
Ander Gunder Frank, dan sejumlah pemikir lainnya. Mereka menggunakan
konsep-konsep yang ditulis oleh Marx dalam Das Capital seperti sentralisasi dan
konsentrasi kapital, ekspor kapital, perdagangan dunia dan kolonialisme.
Lenin
terkenal dengan pemikirannya bahwa tahap tertinggi kapitalisme termanifestasi
dalam bentuk imperialisme. Lenin menyatakan bahwa ekspor kapital merupakan
salah satu fondasi penting dari imperialisme. Ekspor kapital dari negara maju
yang sudah sangat berkembang industrinya ke negara-negara yang belum punya dan
belum maju industrinya telah menjadi langkah awal dominasi kapitalisme. Ekspor
kapital industrial ini didorong oleh motif bahwa pasar dalam negeri dianggap
tidak potensial lagi untuk mencapai akumulasi kapital. Reproduksi industri di
tempat-tempat baru juga dipicu oleh ongkos buruh murah, bahan baku banyak, dan
juga daerah pemasaran baru. Dalam konteks kekinian fenomena ini disebut dengan
investasi asing langsung atau foreign direct investment. Lalu ada
kontribusi teoritik berasal dari Luxemburg.
Fokus
pemikirannya terletak pada bahwa imperialisme dicirikan oleh produksi komoditas
yang akan terus meluas sehingga ekspansi pasar menjadi keharusan termasuk
dengan cara perang sekalipun. Rudolf Hilferding menawarkan tesis bahwa
akumulasi kapital dalam imperialisme terjadi dalam bentuk kapital keuangan.
Tesisnya merujuk pada pemberian kredit atau pinjaman dari institusi finansial
ke industri-industri manufaktur. Penggelumbngan kapital diperoleh lewat bunga
hutang. Dewasa ini gagasan Hilferding dapat disebut dengan finansialisasi.
Kelima,
krisis internal dalam tubuh kapitalisme. Dalam sejarah dunia, kapitalisme telah
diterjang oleh sejumlah krisis parah. Ada dua pendapat yang mengemuka tentang
gagasan ini. Pertama, krisis ini adalah proses alamiah dari perkembangan
kapitalisme sehingga krisis ini bersifat siklikal. Kedua, pendapat bahwa krisis
ini merupakan cacat inheren yang eksis dalam struktur dan mekanisme dasar
kapitalisme. Marx banyak membahas krisis ini lewat analisa ekonomi dalam
karyanya Das Capital. Misalnya kecenderungan tingkat profit yang selalu turun
pada kapitalisme, over-produksi, dan keterbatasan pasar. Marx menyatakan:
“Krisis yang terjadi dalam tubuh Kapitalisme merupakan
bagian dari pertentangan yang tak terdamaikan antara tenaga-tenaga produktif
(teknologi, ilmu pengetahuan, alat-alat kerja, skill) dengan hubungan produksi
yang karena kepemilikan pribadi atas alat produksi-menindas dan eksploitatif;
sebuah krisis inheren (dalam dirinya sendiri) yang menunggu ledakan
penentuan-berikut syarat-syarat objektif maupun subyektifnya. Pemulihan krisis
yang selalu dengan memotong tingkat kesejahteraan hidup rakyat (miskin), kaum
buruh, bahkan kemakmuran para kapitalis dan fungsi pelayanan negara, tidak lain
merupakan penundaan akan akumulasi krisis yang menghancurkan. Dalam sejarah perekonomian
kapitalis, perubahan kebijakan krisis merupakan usaha konsolidasi dan penundaan
krisis yang lebih parah”.9
Dampak
Globalisasi adalah Kesenjangan Kelas
Malaui laporan UNDP pada tahun 1992, memperkirakan bahwa 20% populasi dunia yang tinggal di negara-negara maju memperoleh 82,7% kekayaan dari total pendapatan dunia, sementara 20% lainnya yang tinggal di negara-negara miskin hanya menerima 1,4%. Pada tahun 1996, sejak tiga dekade yang lalu, hanya ada 15 negara yang mengalami tingkat pertumbuhan tertinggi, sementara 89 negara lainnya justru terperangkap dalam kondisi ekonomi yang lebih buruk dibanding 10 tahun sebelumnya. Di level negara yang sedang berkembang , ada 70 negara yang mengalami penurunan tingkat pendapatan dibanding tahun 1960-an dan 1970-an. Dengan demikian keuntungan ekonomi hanya berputar di tingkat sejumlah kecil negara dan telah menjadi dampak buruk bagi banyak negara lainnya (UNDP,1996).
Malaui laporan UNDP pada tahun 1992, memperkirakan bahwa 20% populasi dunia yang tinggal di negara-negara maju memperoleh 82,7% kekayaan dari total pendapatan dunia, sementara 20% lainnya yang tinggal di negara-negara miskin hanya menerima 1,4%. Pada tahun 1996, sejak tiga dekade yang lalu, hanya ada 15 negara yang mengalami tingkat pertumbuhan tertinggi, sementara 89 negara lainnya justru terperangkap dalam kondisi ekonomi yang lebih buruk dibanding 10 tahun sebelumnya. Di level negara yang sedang berkembang , ada 70 negara yang mengalami penurunan tingkat pendapatan dibanding tahun 1960-an dan 1970-an. Dengan demikian keuntungan ekonomi hanya berputar di tingkat sejumlah kecil negara dan telah menjadi dampak buruk bagi banyak negara lainnya (UNDP,1996).
Laporan
tersebut bahkan diperkuat oleh UNCTAD menyangkut dinamika dan ekses pembangunan
dan perdagangan dunia tahun 1997. Sejak dekade 1980-an ekonomi dunia dicirikan
oleh ketidakmerataan dan kesenjangan yang makin lebar (UNCTAD,1997:Bab IV-VI)
terutama pada segi pendapatan. Pada tahun 1965 rata-rata pendapatan per kapita
dari negara-negara industri yang tergabung dalam G7 mencapai 20 kali lipatnya
dari 7 negara termiskin di dunia dan tahun 1995 menjadi 39 kali lipatnya.10
Dalam kasus
Sub Sahara Afrika, Bank Dunia (2000) memperkirakan terjadi penurunan pendapatan
per kapita sebesar 25% sejak tahun 1987. Hal ini tentu saja menjadi kegagalan
nyata dari proyek neoliberalisme di Afrika. Ketimpangan serupa juga terjadi di
wilayah domestik. Penumpukan kekayaan akibat kompetisi yang tidak seimbang
memicu kesenjangan pendapatan yang cukup ekstrim. Masih dalam laporan UNCTAD,
pada tahun 1997 pendapatan 20% penduduk terkaya semakin meningkat hampir
disetiap negara. Sedangkan 20% penduduk miskin justru tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan standar kehidupan (diberbagai negara, rata-rata pendapatan
perkapita 20% penduduk termiskin kurang dari sepersepuluh pendapatan perkapita
dari 20% penduduk terkaya). Fenomena ini ketidakmerataan ini terjadi diseluruh
wilayah termasuk Asia Timur, Amerika Latin, dan Afrika.
Di sektor
investasi juga mengalami tren yang sama. Lewat kebijakan investasi langsung
atau FDI, terbuka peluang untuk melarikan modal keluar negeri selain
menciptakan kekayaan MNC yang bahkan lebih tinggi dibanding negara. Pada tahun
1992, 172 dari 200 MNC yang berasal dari negara maju mampu menginvestasikan
modal sebesar US$ 2 triliun sebagai bentuk investasi langsung.[11] Sementara
menurut Hirst dan Thompson dalam konteks perdagangan, lebih banyak terjadi
antar MNC dibanding ke perusahaan domestik atau usaha kecil menengah rakyat.
Hampir 40%
perdagangan dunia terjadi antara perusahaan yang sebenarnya dikuasai oleh satu
perusahaan induk. Lebih parah lagi untuk komoditas tertentu dikontrol oleh
segelintir MNC. Misalnya, 6 perusahaan menguasai 90% perdagangan gandum dunia:
MNC juga mengontrol 80% dari seluruh lahan pertanian untuk ekspor padi.[12]
Lebih dari semuanya, MNC mengontrol sekitar 70% dari seluruh perdagangan dunia.
Berdasarkan
data dalam human development report tahun 2000 dan 2002, pendapatan 1% penduduk
terkaya didunia setara dengan 57% pendapatan orang termiskin. Kesenjangan
pendapatan antara 20% orang terkaya dengan 20% penduduk termiskin di dunia
meningkat dari 30:1 di tahun 1960 menjadi 74:1 di tahun 1999. Bahkan angka ini
diramalkan akan terus meningkat menjadi 100:1 di tahun 2015. Pada tahun 1999-2000
2,8 miliar orang hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari. 840
juta orang hidup dengan gizi buruk, dan 2,4 miliar orang tidak mempunya akses
dengan air bersih. Hal ini bahkan perparah oleh kematian bayi dan ibu miskin
akibat penyakit yang sebenarnya dapat diatasi dengan angka yang terus meroket.
Kesimpulan
Analisa marxisme terhadap globalisasi memiliki kecenderungan dan karakter yang sangat khas dibanding perspektif lain. Hal ini diindikasikan lewat logika dan model eksplanasi yang menitikberatkan pada proses dialektika kondisi material yang bersandar pada corak produksi masyarakat. Selanjutnya , perspektif Marxian memberikan ruang khusus bagi analisa historis menyangkut tahap perkembangan sejarah masyarakat. Oleh karenanya, globalisasi perlu dilihat sebagai suatu proses dan produk dialektika sejarah yang berbasis pada kepentingan ekonomi-politik. Neoliberalisme lewat proyek globalisasi dianggap sebagai konsekuensi sistemik dari logika dan mekanisme internal kapitalisme. Sistem ini berwatak sangat progresif dengan orientasi akumulasi kapital yang tak terbatas. Kemunculan globalisasi adalah produk bentuk imperialisme baru yang merefleksikan antagonisme kelas sekaligus ketimpangan kelas yang sangat mencolok.
Analisa marxisme terhadap globalisasi memiliki kecenderungan dan karakter yang sangat khas dibanding perspektif lain. Hal ini diindikasikan lewat logika dan model eksplanasi yang menitikberatkan pada proses dialektika kondisi material yang bersandar pada corak produksi masyarakat. Selanjutnya , perspektif Marxian memberikan ruang khusus bagi analisa historis menyangkut tahap perkembangan sejarah masyarakat. Oleh karenanya, globalisasi perlu dilihat sebagai suatu proses dan produk dialektika sejarah yang berbasis pada kepentingan ekonomi-politik. Neoliberalisme lewat proyek globalisasi dianggap sebagai konsekuensi sistemik dari logika dan mekanisme internal kapitalisme. Sistem ini berwatak sangat progresif dengan orientasi akumulasi kapital yang tak terbatas. Kemunculan globalisasi adalah produk bentuk imperialisme baru yang merefleksikan antagonisme kelas sekaligus ketimpangan kelas yang sangat mencolok.
*) Penulis
adalah mahasiswa pasca-sarjana UGM, alumni jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Unhas.
Catatan-Catatan:
[1 ]Marx,
karl, a contribution to critique of political economy (preface), 1857
[2] Hirst dan Thompson, globalisasi adalah mitos,yayasan obor Indonesia, Jakarta,1996,hal 32-33
[3] Sangaji, arianto, relevansi teori imperialism, www.indoprogress.blogspot.com. diakses tanggal 11 januari 2011
[4] Marx, karl, communist manifesto, hal 36, 37,1848
[5] Marx, karl, german ideology, dalam jonatah wolf, why read marx today, oxfor university press, England,2002
[6] Petras dan veltmeyer, imperialism abad 21, kreasi wacana,Yogyakarta,2002,hal 10
[7] Coen Husain pontoh, neoliberalisme, perspektif kelas,dari www.indoprogress.blogspot.com.diakses tanggal 11 januari 2011
[8] Brewer, Anthony, Marxist theory of imperialism, rouledge press, new York,2001, page 88
[9] Marx and Engels Reader, edited by Robert Tucker, in manifesto for communist party,W.W.Norton & Company,New York USA,1978,Hal.
[10] UNDP dalam martin khor,hal 19.
[11] Pontoh husain, mcglobal gombal,Yogyakarta,cubic0,hal xxi
[12] Ibid.
[2] Hirst dan Thompson, globalisasi adalah mitos,yayasan obor Indonesia, Jakarta,1996,hal 32-33
[3] Sangaji, arianto, relevansi teori imperialism, www.indoprogress.blogspot.com. diakses tanggal 11 januari 2011
[4] Marx, karl, communist manifesto, hal 36, 37,1848
[5] Marx, karl, german ideology, dalam jonatah wolf, why read marx today, oxfor university press, England,2002
[6] Petras dan veltmeyer, imperialism abad 21, kreasi wacana,Yogyakarta,2002,hal 10
[7] Coen Husain pontoh, neoliberalisme, perspektif kelas,dari www.indoprogress.blogspot.com.diakses tanggal 11 januari 2011
[8] Brewer, Anthony, Marxist theory of imperialism, rouledge press, new York,2001, page 88
[9] Marx and Engels Reader, edited by Robert Tucker, in manifesto for communist party,W.W.Norton & Company,New York USA,1978,Hal.
[10] UNDP dalam martin khor,hal 19.
[11] Pontoh husain, mcglobal gombal,Yogyakarta,cubic0,hal xxi
[12] Ibid.
Daftar
Bacaan:
Tucker,
Robert C, The Marx-Engels Reader, W.W.Norton & Company,Inc., USA,
1972
Brewer,
Anthony, Marxist theory of imperialism, rouledge press, new York,2001
Wolff jonathan, why read marx today, oxfor university press, England,2002
Wolff jonathan, why read marx today, oxfor university press, England,2002
Hirst dan
Thompson, globalisasi adalah mitos,yayasan obor Indonesia, Jakarta,1996
Petras,
James dan Veltmeyer, Henry, Imperialisme Abad 21, Kreasi Wacana,
Yogyakarta, 2004
Adams, Ian,
Ideologi Politik Mutakhir, Qalam, Jogjakarta, 2004
Chomsky,
Noam, Memeras Rakyat Neoliberalisme dan Tatanan Global, Profetik,
Jakarta. 2005.
Jackson,
Robert dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2005
Steger,
Manfred B, Globalisme-Bangkitnya Ideologi Pasar-, Lafadl, Yoyakarta,
2004.
0 komentar:
Posting Komentar