Senin, 15 Desember 2014

Analisa Marxian dalam Ekonomi-Politik Globalisasi

Oleh: M. Chairil Akbar Setiawan*

Terminologi globalisasi secara umum merujuk pada suatu fenomena integrasi dan intensifikasi aktifitas ekonomi-politik negara-negara ke dalam bentuk sistem ekonomi berbasis pasar. Globalisasi bergerak sangat jauh dengan mengeliminir sekat teritorial dan menembus hambatan proteksionisme yang selama ini cenderung dipraktekkan di banyak negara. Eskalasi relasi ekonomi ini dipicu oleh sebuah proyek globAZal yang menjanjikan kesejahteraan bersama bagi seluruh masyarakat dunia. Secara empirik, globalisasi menjanjikan ruang dan kesempatan yang luas bagi penciptaan peluang ekonomi dan bisnis lewat aliran perdagangan, investasi, dan industrialisasi.

Hal ini semakin jelas terlihat paska perang dingin tahun 1990. Kecenderungan hubungan internasional telah bergeser sangat signifikan ke arah pola yang sangat ekonomistik. Hubungan interdependsensi adalah tren yang didorong sebagai pemicu kerjasama ekonomi yang lebih maksimal. Sejumlah institusi internasional dibangun berikut kesepakatan-kesepakatannya dalam rangka mencetak formasi dunia yang lebih berkembang dan maju. Oleh karenanya, pada konteks ini globalisasi menjadi semacam logika bersama (common sense) bahwa dunia wajib memasuki babak baru dan meninggalkan realitas lama berupa agresi militer, konflik, dan perang.

Sekilas deskripsi di atas menunjukan bahwa globalisasi bergerak bersama komitmen kesejahteraan dan kemajuan bagi masyarakat dunia. Hal ini juga diperkuat oleh sejumlah pernyataan diplomatik dan propaganda perluasan agenda pasar bebas di banyak negara. Sehingga apa yang dihasilkan dari diskursus dan fenomena globalisasi adalah realitas yang berwajah tunggal. Hal inilah yang justru menghasilkan pertentangan dari sebagian kelompok yang skeptik atau bahkan menolak globalisasi. Peristiwa politik terkenal di Seattle 1999 di AS menjadi pukulan telak sekaligus indikator nyata bahwa globalisasi mendapatkan kecaman dan serangan tajam.

Untuk mengawali polemik dan pembongkaran terhadap proyek globalisasi dengan doktrin neoliberalismenya, ada sebuah pertanyaan sederhana: Apakah memang globalisasi merupakan fenomena alamiah sebagai bentuk evolusi sejarah? Ataukah ia tidak lebih sebagai produk yang dicetak dari skenario segelintir pihak dengan selubung kepentingan tertentu?

Untuk menganalisa globalisasi dari kacamata yang berbeda ada sejumlah perspektif yang dapat dikedepankan. Marxisme adalah salah satunya. Tradisi pemikiran Marxian dikenal secara keras menentang legitimasi dan justifikasi a la liberalisme ekonomi sejak abad kapitalisme mulai berjaya di eropa. Marxisme mendesain kritik dan sorotannya terhadap kapitalisme global (globalisasi neoliberal) dengan cara yang berbeda dan sangat tipikal. Gagasan dan praktek kapitalisme perlu dipahami bukan hanya sebagai mekanisme atau tata kelola ekonomi an sich tapi juga berusaha melampaui itu. Dominasi dan eksploitasi yang selama ini terselubung dalam tubuh kapitalisme adalah sasaran utama serangan tradisi pemikiran ini.

Globalisasi dalam Perspektif Marxisme
Untuk memahami gagasan marxisme maka perlu diawali dengan pemahaman tentang instrumen filosofsinya. Marx merumuskan sebuah kerangka berpikir yang disebut dengan materialisme dialektika historis. Filsafat ini secara umum memandang realitas sosial sebagai produk dari dialektika kondisi material (faktor produksi dan mode produksi) dalam konteks antagonisme kelas. Sejarah formasi masyarakat dibentuk oleh aktifitas ekonomi manusia dengan wujud produksi.
Secara sederhana diartikan bahwa fenomena sosial lahir dari segenap perubahan kondisi atau lingkungan dimana basis ekonomi menjadi faktor esensial yang mempengaruhi tatanan dan dinamika peradaban manusia. Kondisi materiallah yang melahirkan pola pikir dan kesadaran manusia bukan sebaliknya. Marx menyatakan :
“In the social production of their existence, men inevitably enter into definite relations of production appropriate to a given stage in the development of their material forces of production. The totality of these relations of production constitutes the economic structure of society, the real foundation, on which arises a legal and political superstructure and to which correspond definite forms of social consciousness. The mode of production of material life conditions the general process of social, political and intellectual life.”1

Secara historis, globalisasi diyakini sebagai langkah sistematis dari para pemilik modal dan elit- elit politik yang menjadi afiliasinya. Sejak beberapa dekade yang lalu aktifitas perdagangan telah mewarnai tahap baru perkembangan dinamika ekonomi dunia. Perdagangan dan investasi yang massif digerakkan oleh negara-negara imperial pada dasarnya berdiri diatas prinsip monopoli dan dominasi. Sumber utama kritik marxisme berasal dari kapitalisme. Inilah sistem ekonomi yang diklaim sebagai pola penghisapan manusia.

Menurut riset Hirst dan Thompson, pada abad 14 telah berdiri dan berjalan sebuah perkumpulan dagang dari Jerman bernama hansaetic league. Perusahaan ini menjalankan operasi ekonominya di wilayah eropa barat. Pada akhir abad yang sama juga, sekitar 150 bank dari Italia sudah menjalankan usahanya di berbagai negara. Selanjutnya, pada abad 17 dan 18 negara-negara mulai ikut aktif mendukung berdirinya perusahaan-perusahaan dagang kolonial, seperti dutch east india company, british east india company,mucovy company, royal Africa company, dan Hudson bay company. Semua perusahaan ini mempelopori perdagangan berskala besar di wilayah yang kelak menjadi wilayah jajahan yang penting.2

Berdasarkan fakta sejarah ini, James Petras lalu membagi tahapan perkembangan globalisasi dalam 3 fase. Fase pertama dimulai ketika abad 15 bersamaan dengan ekspasnsi negara-negara Eropa dan tumbuhnya kapitalisme, kolonialisme di sejumlah negara di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Bangsa kulit putih juga menunjukan superioritas dengan menaklukan daerah-daerah seperti Amerika Utara dan Australia.

Dengan demikian, globalisasi adalah proyek besar yang berdampingan dengan imperialisme negara Eropa yang menindas dan menghisap dunia ketiga. Fase kedua, globalisasi dibangun di era inter imperial trade (perdagangan antar kaum imperialis). Hal ini direfleksikan dari perdagangan dan kerjasama antar kelompok Negara maju seperti sesama negara Eropa, lalu dengan Amerika, Jepang, yang akhirnya membentuk blok ekonomi dan kooperasi yang kuat. Pada konteks ini, globalisasi mengarah pada kompetisi dan kolaborasi antar negara dan perusahaan multinasional dalam mengeksploitasi pasar yang ada.

Pada fase ketiga, globalisasi akhirnya melangkah pada fase international trade (perdagangan internasional). Pada fase inilah terjadi intensifikasi perdagangan internasional dengan skala dan cakupan yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Negara-negara maju dan MNC memainkan peranan yang sangat krusial dalam membentuk tatanan ekonomi politik global hari ini. Di kemudian hari, eksistensi dan pengaruh lembaga-lembaga keuangan internasional ikut mewarnai hegemoni globalisasi neoliberal. Arus neoliberalisme mulai berjaya sejak dekade 1980an sampai sekarang. Ide dan resep kebijakan neoliberal banyak disebarluaskan oleh lembaga-lembaga seperti IMF, Bank Dunia, WTO, atau G8. sehingga terjadilah perombakan besar-besaran dalam skema kebijakan ekonomi-politik banyak negara di dunia.

Sebelum beranjak lebih jauh pada pandangan Marxian terhadap globalisasi, maka ada baiknya menengok konsep dasar ekonomi kapitalisme menurut Marx yang disebut dengan akumulasi Kapital. Hal ini menjadi penting karena akumulasi Kapital adalah bagian inheren dalam globalisasi ekonomi. Dalam kapitalisme terdapat dua jenis reproduksi. Yang pertama adalah reproduksi sederhana dan yang kedua akumulasi kapital. Reproduksi sederhana adalah proses penciptaan nilai lebih lewat produksi tanpa upaya reproduksi kapital lewat investasi. Artinya nilai lebih atau profit langsung dipakai habis untuk kebutuhan si kapitalis. Sedangkan akumulasi kapital mengarah pada watak produksi yang berupaya terus mereproduksi kapital lewat investasi.

Jadi keuntungan yang diperoleh akan dimanfaatkan kembali untuk memperluas usaha dan skala produksi. Pada akhirnya, terjadilah penumpukan nilai lebih atau keuntungan. Kapital mesti mengalir dari suatu tempat, lokasi, wilayah, negara ke tempat, lokasi, wilayah, dan negara berbeda. Jika tidak, produksi kapitalis akan bangkrut.3

Ketika menganalisa globalisasi, terdapat sejumlah poin substansial yang diperoleh berdasarkan cara analisa Marxian. Pertama, proses masifikasi kegiatan ekonomi yang berwujud globalisasi dicirikan oleh pembagian kerja internasional. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi logis dari praktek kapitalisme dalam masyarakat. Relasi produksi kapitalisme bersifat hierarkis dan timpang yang kemudian berujung pada pembagian kerja sosial. Formasi sosial dibelah oleh dua kutub kelas yaitu kelas yang menguasai dan mengontrol faktor-faktor produksi dan kelas yang tidak punya apa-apa kecuali tenaga kerjanya yang dijual. Konteks ini juga berlaku pada interaksi ekonomi di level global.

Kelas kapitalis yang berada di negara imperial maupun non-imperial mengontrol bentuk pembagian kerja. Mereka mendesain pola kerja dengan menciptakan investasi dan industrialisasi di negara-negara miskin. Tenaga kerja buruh murah dimanfaatkan untuk maksimalisasi perolehan profit dan kemudian dibawa keluar ke negara asal kapitalis atau investor. Pola kerja ini dibungkus rapi dalam kerangka kerjasama ekonomi dan penciptaan lapangan pekerjaan. Padahal posisi negara miskin jelas sangat inferior dan berfungsi sebagai pemasok tenaga buruh murah bagi korporasi dan negara-negara imperial. Sehingga, pada dasarnya kerja para buruh industrial adalah gejala utama dari semakin masifnya arus kapitalisme.

Yang kedua, perluasan atau ekspansi pasar. Logika kerja kapitalisme adalah mendorong proses produksi yang tanpa batas. Prinsip ini dibangun oleh kerangka kapitalisme yang tidak boleh terinterupsi oleh batasan dan campur tangan Negara. Pasar hanya dapat berjala maksimal dan efektif jika dituntun oleh mekanisme internalnya sendiri. Pada gilirannya, hal tersebut secara otomatis menstimulir pembukaan pasar pasar baru. Kombinasi antara keseimbangan kapasitas produksi dengan tingkat konsumsi beserta akumulasi kapital akan menciptakan potensi krisis dalam pasar domestik. Hal ini terjadi karena barang yang diproduksi dalam skala massif tidak akan pernah dapat terserap sepenuhnya oleh pasar dalam negeri. Dengan demikian, satu-satunya opsi adalah ekspansi pasar. Penciptaan pasar baru adalah kunci bagi akumulasi dan maksimalisasi profit.

Perluasan produksi dan pasar merupakan karakter dasar kapitalisme dalam sejarahnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Marx :
‘’The bourgeoise cannot exist without constantly revolutionizing the instrument of productions,and thereby the relation of productions and with them the whole relation of society…the bourgeoise during its rule of scarce one hundred years has created more massive and more colossal productive forces than have all preceeding generations together”4

Pada titik inilah, alasan atas imperialisme dan kolonisasi menjadi sangat rasional. Dalam beberap abad, dunia pernah dikontrol oleh sejumlah negara imperial seperti Inggris, Portugis, Belanda, Spanyol, atau Perancis. Mereka melakukannya demi akumulasi kapital sekaligus mengobati krisis internal dalam pasar domestiknya. negara koloni menjadi sumber penghasil faktor-faktor produksi, tenaga buruh, juga pasar yang cukup potensial. Eksploitasi dan penjarahan ini berlangsung secara terbuka maupun terselubung. Dahulu imperialisme ditopang oleh agresi militer dan perang namun sekarang dominasi kapital dijaga dan ditegakkan oleh hegemoni yang disertai dengan sejumlah intimidasi politik dan manipulasi.

Namun begitu, kekuatan militer dan agresi masih menjadi opsi alternatif jika cara pertama gagal. Kasus ini terlihat dari invasi AS yang didukung oleh negara kaya lainnya ke Afganistan 2001 dan Irak 2003. Fakta paling mencolok dari eksploitasi modern adalah kejayaan korporasi raksasa internasional yang telah menjadi kekuatan utama ekonomi dunia.

Yang ketiga adalah analisis kelas. Globalisasi dalam kerangka marxisme bukanlah fenomena lazim dengan misi membawa kemakmuran bagi semua pihak tapi lebih sebagai sebuah proyek kelas. Analisa kelas adalah salah satu tinjauan paling penting dalam perspektif marxisme. Tatanan kapitalisme adalah bentuk evolusi dari kontradiksi ekonomi-politik yang berbasis pada antagonisme kelas. Pertentangan kelas dalam masyarakat yakni antara borjuasi dan proletar adalah sumbu dari lahirnya bentuk atau corak peradaban modern.

Gagasan ini secara frontal menolak dan menyerang asumsi bahwa formasi sosial dibengun oleh dialektika ide, kerjasama, atau analisa lain yang berlandaskan pada perubahan mekanis sejarah. Sehingga dalam melihat sejarah, peran dan eksistensi kelas menjadi sangat esensial dalam pandangan kaum Marxian. Sebgaimana yang dinyatakan oleh Marx dalam german ideology dan communist manifesto :
“The ideas of rulling class are in every epoch are the rulling ideas…the rulling ideas are nothing more than the ideal expression of the dominant material relationship which make the one class the rulling one, therefore, the idea of its dominance”5

Dalam konteks globalisasi pun wajib dilihat berdasarkan analisis kelas. Terbangunnya tatanan imperium kapital dunia adalah rekayasa dari kelas borjuasi yang diwakili oleh korporasi raksasa, bank swasta, dan didukung oleh elit-elit politik berhaluan neoliberal. Proyek kelas ini bertujuan untuk mereproduksi ketergantungan struktural dan akumulasi kapital di negara-negara miskin. Seperti pada proyek kapitalisme lain (moderninsasi, industrialisasi, pembangunan, dan kolonialisme) bentuk imperialisme selalu mengandung kontradiksi yang selanjutnya membentuk kekuatan-kekuatan oposisi dan resistensi yang dalam keadaan tertentu mampu merusak proses akumulasi modal dan juga sistem yang menjadi tempatnya bergantung.6

Substansi lain dari analisis kelas yaitu perkembangan masyarakat merupakan produk dari konflik kelas yang berujung pada kekerasan dan negasi. Kemenangan neoliberalisme lewat globalisasi tidak hanya bisa dilihat dari hegemoniknya propaganda dan doktrin neoliberal dalam mendominasi wacana pembangunan ekonomi. Jika hanya bertumpu pada analisis ini maka sama halnya memandang bahwa transformasi sosial berasal dari atas lewat instrumen ide. Hal ini jelas bertentangan dengan dialektika ekonomi-politik yang terjadi lewat perebutan dan perang. Fakta menunjukan bahwa penggunan cara-cara koersif lewat kekerasan adalah bidan yang melahirkan babak baru sejarah dan langkah awal pembentukan tatanan sosial yang berbeda. Imperialisme dan kolonialisme hanya bisa terjadi lewat penundukan dengan senjata dan militer.

Salah satu contoh paling relevan untuk pandangan ini adalah fenomena hubungan buruh industrial dengan perusahaan di AS pada era great depression dekade 1930-an. Dibawah pemerintahan Franklin Delano Rosevelt relasi antara buruh dan perusahaan serta pemerintah bisa dikatakan sangat dekat dan cukup ”harmonis”. Hal ini disebabkan oleh kuatnya tekanan dan oposisi kelas pekerja dalam wadah serikat pekerja yang menuntut perbaikan upah dan kondisi kerja. namun kondisi berubah drastis ketika fase malaise berakhir paska perang dunia kedua. Masyarakat di AS termasuk kelas pekerja relatif mampu menikmati kehidupan yang lebih baik dibanding sebelumnya. Kelas pekerja terlena oleh gaya hidup borjuis dan perbaikan upah.

Ternyata hal ini berdampak sangat serius pada politik organisasi kelas pekerja. Serikat pekerja mulai melemah ditandai oleh penurunan sangat signifikan pada jumlah anggota serikat pekerja dan aktifitas politiknya. Akhirnya bencana pun datang! Dunia kembali diguncang krisis pada dekade 1970-an. Kapitalisme kembali diterjang krisis siklikalnya dan ikut menyapu kehidupan masyarakat AS. Momentum ini akhirnya menjadi gerbang masuknya ide dan implementasi neoliberalisme. Dibawah pemerintahan Ronald Reagen, AS secara drastik memutar haluan ekonomi-politiknya dari model Keynessian menuju neoliberalisme. Kebijakan berwatak neoliberal dijalankan tanpa resistensi apa-apa akibat melemahnya posisi politik serikat pekerja. Dan ketika mencoba melawan proyek pasar bebas Reagan, kelas pekerja justru semakin terpojok dan dilumpuhkan.

Aksi pertama Reagan, yang kemudian menjadi penanda kebangkrutan gerakan buruh AS, ketika ia memecat 11.345 buruh PATCO (Professional Air Traffic Controllers Organization) yang terlibat dalam demonstrasi pada 3 Agustus 1981. Hanya 500 anggota PATCO yang diterima kembali (rehired) untuk bekerja.7 Fenomena yang sama juga terjadi inggris dan banyak negara eropa lainnya. Tidak ada resistensi dan pertentangan yang muncul dari kelas pekerja karena posisi mereka semakin lemah oleh pemerintahan yang memasung perjuanagan buruh secara militeristik.

Di Amerika Latin, kekuatan oposisi dilenyapkan oleh rezim yang dikenal sangat dekat dengan AS dan pro pasar bebas. Kudeta dan penggulingan kekuasaan pemerintahan populis adalah hal yang cukup lumrah di kawasan ini. Kasus dengan substansi yang sama juga menimpa Indonesia. Kemenangan kelas borjuasi diperkuat oleh semakin memudarnya radikalisasi dan aksi langsung dari gerakan buruh yang justru juga diperparah oleh fragmentasi gerakan dan politik kooptasi dari rezim neoliberal di Indonesia.

Keempat adalah teori imperialisme dalam tradisi Marxian. Teori imperialisme pada prinsipnya menggambarkan realitas dominasi kapital yang digerakan oleh sistem dan metode dalam tubuh kapitalisme demi mencapai akumulasi kapital. Fenomena ini pada gilirannya mewajibkan eksploitasi dan penjarahan di negara-negara miskin atau pada level kelas pekerja yang dimobilisir oleh kekuatan politik negara dan militer. Pada dasrnya Karl Marx sendiri tidak pernah memformulasikan teori imperialisme.8

Namun begitu Marx telah meletakan sejumlah poin penting menjadi landasan terbentuknya teori imperialisme. Beberapa pemikir Marxist merumuskannya adalah Vladimir Lenin, Rudolf Hilferding, Nicolai Bukharin, Rosa Luxemburg, Immanuel Wallerstein, Ander Gunder Frank, dan sejumlah pemikir lainnya. Mereka menggunakan konsep-konsep yang ditulis oleh Marx dalam Das Capital seperti sentralisasi dan konsentrasi kapital, ekspor kapital, perdagangan dunia dan kolonialisme.

Lenin terkenal dengan pemikirannya bahwa tahap tertinggi kapitalisme termanifestasi dalam bentuk imperialisme. Lenin menyatakan bahwa ekspor kapital merupakan salah satu fondasi penting dari imperialisme. Ekspor kapital dari negara maju yang sudah sangat berkembang industrinya ke negara-negara yang belum punya dan belum maju industrinya telah menjadi langkah awal dominasi kapitalisme. Ekspor kapital industrial ini didorong oleh motif bahwa pasar dalam negeri dianggap tidak potensial lagi untuk mencapai akumulasi kapital. Reproduksi industri di tempat-tempat baru juga dipicu oleh ongkos buruh murah, bahan baku banyak, dan juga daerah pemasaran baru. Dalam konteks kekinian fenomena ini disebut dengan investasi asing langsung atau foreign direct investment. Lalu ada kontribusi teoritik berasal dari Luxemburg.

Fokus pemikirannya terletak pada bahwa imperialisme dicirikan oleh produksi komoditas yang akan terus meluas sehingga ekspansi pasar menjadi keharusan termasuk dengan cara perang sekalipun. Rudolf Hilferding menawarkan tesis bahwa akumulasi kapital dalam imperialisme terjadi dalam bentuk kapital keuangan. Tesisnya merujuk pada pemberian kredit atau pinjaman dari institusi finansial ke industri-industri manufaktur. Penggelumbngan kapital diperoleh lewat bunga hutang. Dewasa ini gagasan Hilferding dapat disebut dengan finansialisasi.

Kelima, krisis internal dalam tubuh kapitalisme. Dalam sejarah dunia, kapitalisme telah diterjang oleh sejumlah krisis parah. Ada dua pendapat yang mengemuka tentang gagasan ini. Pertama, krisis ini adalah proses alamiah dari perkembangan kapitalisme sehingga krisis ini bersifat siklikal. Kedua, pendapat bahwa krisis ini merupakan cacat inheren yang eksis dalam struktur dan mekanisme dasar kapitalisme. Marx banyak membahas krisis ini lewat analisa ekonomi dalam karyanya Das Capital. Misalnya kecenderungan tingkat profit yang selalu turun pada kapitalisme, over-produksi, dan keterbatasan pasar. Marx menyatakan:
“Krisis yang terjadi dalam tubuh Kapitalisme merupakan bagian dari pertentangan yang tak terdamaikan antara tenaga-tenaga produktif (teknologi, ilmu pengetahuan, alat-alat kerja, skill) dengan hubungan produksi yang karena kepemilikan pribadi atas alat produksi-menindas dan eksploitatif; sebuah krisis inheren (dalam dirinya sendiri) yang menunggu ledakan penentuan-berikut syarat-syarat objektif maupun subyektifnya. Pemulihan krisis yang selalu dengan memotong tingkat kesejahteraan hidup rakyat (miskin), kaum buruh, bahkan kemakmuran para kapitalis dan fungsi pelayanan negara, tidak lain merupakan penundaan akan akumulasi krisis yang menghancurkan. Dalam sejarah perekonomian kapitalis, perubahan kebijakan krisis merupakan usaha konsolidasi dan penundaan krisis yang lebih parah”.9

Dampak Globalisasi adalah Kesenjangan Kelas
Malaui laporan UNDP pada tahun 1992, memperkirakan bahwa 20% populasi dunia yang tinggal di negara-negara maju memperoleh 82,7% kekayaan dari total pendapatan dunia, sementara 20% lainnya yang tinggal di negara-negara miskin hanya menerima 1,4%. Pada tahun 1996, sejak tiga dekade yang lalu, hanya ada 15 negara yang mengalami tingkat pertumbuhan tertinggi, sementara 89 negara lainnya justru terperangkap dalam kondisi ekonomi yang lebih buruk dibanding 10 tahun sebelumnya. Di level negara yang sedang berkembang , ada 70 negara yang mengalami penurunan tingkat pendapatan dibanding tahun 1960-an dan 1970-an. Dengan demikian keuntungan ekonomi hanya berputar di tingkat sejumlah kecil negara dan telah menjadi dampak buruk bagi banyak negara lainnya (UNDP,1996).

Laporan tersebut bahkan diperkuat oleh UNCTAD menyangkut dinamika dan ekses pembangunan dan perdagangan dunia tahun 1997. Sejak dekade 1980-an ekonomi dunia dicirikan oleh ketidakmerataan dan kesenjangan yang makin lebar (UNCTAD,1997:Bab IV-VI) terutama pada segi pendapatan. Pada tahun 1965 rata-rata pendapatan per kapita dari negara-negara industri yang tergabung dalam G7 mencapai 20 kali lipatnya dari 7 negara termiskin di dunia dan tahun 1995 menjadi 39 kali lipatnya.10

Dalam kasus Sub Sahara Afrika, Bank Dunia (2000) memperkirakan terjadi penurunan pendapatan per kapita sebesar 25% sejak tahun 1987. Hal ini tentu saja menjadi kegagalan nyata dari proyek neoliberalisme di Afrika. Ketimpangan serupa juga terjadi di wilayah domestik. Penumpukan kekayaan akibat kompetisi yang tidak seimbang memicu kesenjangan pendapatan yang cukup ekstrim. Masih dalam laporan UNCTAD, pada tahun 1997 pendapatan 20% penduduk terkaya semakin meningkat hampir disetiap negara. Sedangkan 20% penduduk miskin justru tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan standar kehidupan (diberbagai negara, rata-rata pendapatan perkapita 20% penduduk termiskin kurang dari sepersepuluh pendapatan perkapita dari 20% penduduk terkaya). Fenomena ini ketidakmerataan ini terjadi diseluruh wilayah termasuk Asia Timur, Amerika Latin, dan Afrika.

Di sektor investasi juga mengalami tren yang sama. Lewat kebijakan investasi langsung atau FDI, terbuka peluang untuk melarikan modal keluar negeri selain menciptakan kekayaan MNC yang bahkan lebih tinggi dibanding negara. Pada tahun 1992, 172 dari 200 MNC yang berasal dari negara maju mampu menginvestasikan modal sebesar US$ 2 triliun sebagai bentuk investasi langsung.[11] Sementara menurut Hirst dan Thompson dalam konteks perdagangan, lebih banyak terjadi antar MNC dibanding ke perusahaan domestik atau usaha kecil menengah rakyat.

Hampir 40% perdagangan dunia terjadi antara perusahaan yang sebenarnya dikuasai oleh satu perusahaan induk. Lebih parah lagi untuk komoditas tertentu dikontrol oleh segelintir MNC. Misalnya, 6 perusahaan menguasai 90% perdagangan gandum dunia: MNC juga mengontrol 80% dari seluruh lahan pertanian untuk ekspor padi.[12] Lebih dari semuanya, MNC mengontrol sekitar 70% dari seluruh perdagangan dunia.

Berdasarkan data dalam human development report tahun 2000 dan 2002, pendapatan 1% penduduk terkaya didunia setara dengan 57% pendapatan orang termiskin. Kesenjangan pendapatan antara 20% orang terkaya dengan 20% penduduk termiskin di dunia meningkat dari 30:1 di tahun 1960 menjadi 74:1 di tahun 1999. Bahkan angka ini diramalkan akan terus meningkat menjadi 100:1 di tahun 2015. Pada tahun 1999-2000 2,8 miliar orang hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari. 840 juta orang hidup dengan gizi buruk, dan 2,4 miliar orang tidak mempunya akses dengan air bersih. Hal ini bahkan perparah oleh kematian bayi dan ibu miskin akibat penyakit yang sebenarnya dapat diatasi dengan angka yang terus meroket.

Kesimpulan
Analisa marxisme terhadap globalisasi memiliki kecenderungan dan karakter yang sangat khas dibanding perspektif lain. Hal ini diindikasikan lewat logika dan model eksplanasi yang menitikberatkan pada proses dialektika kondisi material yang bersandar pada corak produksi masyarakat. Selanjutnya , perspektif Marxian memberikan ruang khusus bagi analisa historis menyangkut tahap perkembangan sejarah masyarakat. Oleh karenanya, globalisasi perlu dilihat sebagai suatu proses dan produk dialektika sejarah yang berbasis pada kepentingan ekonomi-politik. Neoliberalisme lewat proyek globalisasi dianggap sebagai konsekuensi sistemik dari logika dan mekanisme internal kapitalisme. Sistem ini berwatak sangat progresif dengan orientasi akumulasi kapital yang tak terbatas. Kemunculan globalisasi adalah produk bentuk imperialisme baru yang merefleksikan antagonisme kelas sekaligus ketimpangan kelas yang sangat mencolok.

*) Penulis adalah mahasiswa pasca-sarjana UGM, alumni jurusan Ilmu Hubungan Internasional Unhas.

Catatan-Catatan:
[1 ]Marx, karl, a contribution to critique of political economy (preface), 1857
[2] Hirst dan Thompson, globalisasi adalah mitos,yayasan obor Indonesia, Jakarta,1996,hal 32-33
[3] Sangaji, arianto, relevansi teori imperialism,
www.indoprogress.blogspot.com. diakses tanggal 11 januari 2011
[4] Marx, karl, communist manifesto, hal 36, 37,1848
[5] Marx, karl, german ideology, dalam jonatah wolf, why read marx today, oxfor university press, England,2002
[6] Petras dan veltmeyer, imperialism abad 21, kreasi wacana,Yogyakarta,2002,hal 10
[7] Coen Husain pontoh, neoliberalisme, perspektif kelas,dari www.indoprogress.blogspot.com.diakses tanggal 11 januari 2011
[8] Brewer, Anthony, Marxist theory of imperialism, rouledge press, new York,2001, page 88
[9] Marx and Engels Reader, edited by Robert Tucker, in manifesto for communist party,W.W.Norton & Company,New York USA,1978,Hal.
[10] UNDP dalam martin khor,hal 19.
[11] Pontoh husain, mcglobal gombal,Yogyakarta,cubic0,hal xxi
[12] Ibid.

Daftar Bacaan:
Tucker, Robert C, The Marx-Engels Reader, W.W.Norton & Company,Inc., USA, 1972
Brewer, Anthony, Marxist theory of imperialism, rouledge press, new York,2001
Wolff jonathan, why read marx today, oxfor university press, England,2002
Hirst dan Thompson, globalisasi adalah mitos,yayasan obor Indonesia, Jakarta,1996
Petras, James dan Veltmeyer, Henry, Imperialisme Abad 21, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004
Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir, Qalam, Jogjakarta, 2004
Chomsky, Noam, Memeras Rakyat Neoliberalisme dan Tatanan Global, Profetik, Jakarta. 2005.
Jackson, Robert dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Steger, Manfred B, Globalisme-Bangkitnya Ideologi Pasar-, Lafadl, Yoyakarta, 2004.

0 komentar: