BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-quran sebagai sumber ajaran Islam pertama dan sebagai pedoman umat
Islam, didalamnya terdapat berbagai macam ayat yang membutuhkan penafsiran
untuk memahaminya dan mempelajarinya. Aktifitas menafsirkan Al-Quran yang dilakukan
pertama kali oleh Nabi Saw, telah dilanjutkan oleh generasi sesudahnya. Hal itu
berlangsung terus menerus melalui berbagai periode sampai saat ini dengan
mengalami banyak perkembangan, baik dalam metode yang ditempuh maupun corak
yang dipilih oleh para mufasir, sesuai dengan latar belakang pendidikan dan
keahlian masing-masing mufasir, serta berdasarkan tuntutan zaman yang
dihadapinya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita saksikan beraneka
ragam corak penafsiran yang ditampilkan oleh para mufasir dalam tafsir mereka[1]
Dari hal inilah sehingga Para ulama
telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka dibidang tafsir ini, dan
menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir,
metode-metode yang dimaksud yaitu metode tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan
maudhu’iy.
Salah satu metode penafsiran Al-Quran yang muncul sejak akhir abad II/awal
abad III H periode pembukuan tafsir sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri
adalah corak penafsiran yang dalam istilah Dr. Abdul Hay Al-Farmawi disebut
tafsir at-tahlili. Metode penafsiran ini berusaha menerangkan arti ayat-ayat
Al-Quran dari berbagai seginya berdasarkan urutan-urutan ayat dan surat dalam
mushaf. Ia juga menonjolkan pengertian dan kandungan lafazh-lafazhnya, hubungan
ayat-ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadis-hadis Nabi Saw. Serta memasukkan
semua penjelasan yang ada kaitannya dengan ayat-ayat itu, serta pendapat
sahabat dan tabi’in atau pendapat para mufasir lainnya.[2]
Banyak cara
pendekatan dan pembagian tafsir yang mengandalkan penalaran ataupun analitis,
sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu
demi satu.
Pentingnya
metode tafsir tahlili dalam menafsirkan ayat-ayat Al-quran adalah untuk
membantu dan memudahkan bagi orang yang ingin mempelajari dan memahami ayat Al-Quran
itu sendiri secara mendalam.
Dalam
pembahasan makalah ini, pemakalah akan mencoba menjelaskan dan menguraikan dari
pengertian metode tafsir tahlili, pembagian dari metode tafsir tahlili, ciri-ciri
metode ini,dan juga kelebihan dan kekurangan metode tahlili.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian dari metode tafsir tahlili?
2.
Bagaimanakah
pembagian dari metode tafsir tahlili?
3.
Apa sajakah
ciri-ciri dari metode tafsir tahlili?
4.
Bagaimana
kelebihan dan kekurangan metode tafsir tahlili
C. Tujuan Penulisan:
1. Untuk mendeskripsikan dari pengertian metode tafsir tahlili,
2. Untuk mengetahui pembagian dari metode tafsir tahlili,
3. Untuk mengetahui ciri-ciri dari metode tafsir tahlili,
4. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan metode tafsir tahlili.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metode Tafsir Tahlili
Kata “tahlili”
berasal dari bahasa Arab yakni “hallala-yuhallilu” yang berarti
menguraikan atau menganalisa. Yang dimaksud dengan metode analitis yaitu,
menafsirkan ayat-ayat Al-quran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan serta menerangkan makna-makna yang tercakup
didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan
ayat-ayat tersebut.
Dalam
metode ini, biasanya mufasir menguraikan maknanya yang dikandung oleh
Al-qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai dengan urutannya di
dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat
yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar
belakang turun ayat, kaitannnya dengan ayat yang lain, baik sebelum maupun
sesudahnya, dan tak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan
berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh nabi,
sahabat, para tabi’in maupun tafsir lainnya[3].
Metode tafsir at-tahlili yang
biasa disebut metode tajzi’i ini termasuk metode tafsir tertua usianya.
Metode at-tahlili, menurut Quraish Shihab, lahir jauh sebelum metode
tafsir maudhu’i. Metode ini sudah dikenal sejak ahli tafsir al-Farra
(w. 206 H/821 M) menerbitkan kitab tafsirnya itu atau sejak Ibn Majah
(w.237 H/851 M), atau selambat lambatnya sejak masa ath Thabari (w.310
H/922 M).
Kitab-kitab
tafsir Al-Quran yang pernah ditulis para mufassir masa-masa awal pembukuan
tafsir hampir atau bahkan semuanya, menggunakan metode at-tahlili. Metode itu
bisa berbentuk tafsir bi al-ma’tsur seperti jami al-Bayan Ga’wil ayi
al-Quran karya Ibnu Jarir ath Thabari atau tafsir bi al-ra’yi
seperti at-tafsir al-kabir atau Mafatih al-Ghaib karya Muhammad
Fakhr al-Din ar-Razi. Aliran tafsir bi al-isyarah atau al-bathiniyyah pun
menampilkan tafsir dengan metode at-tahlili seperti kitab Gharai al-Quran wa
Raghain al-Furqan karya an-Naysaburi (w.728 H/1328 M).[4]
Metode
tahlili atau yang dinamai Baqr Al-Shadr sebagai metode tajzi’i adalah
suatu metode tafsir yang mufasirya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat
dari berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat Al-quran sebagaimana
yang tercantum dalam mushaf.
Berbagai
aspek yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tajzi’iy/tahlily diuraikan,
yang tahapan kerjanya yaitu dimulai dari:
1. Bermula dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan
sebagaimana urutan dalam Al-quran, mulai dari Surah Al Fatihah hingga
Surah An-Nass,
2. Menjelaskan asbabun nuzul ayat ini dengan menggunakan keterangan
yang diberikan oleh hadist (bir riwayah),
3. Menjelaskan munasabah, atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat
sebelum atau sesudahnya,
4. Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan
menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan hadist
Rasulullah Saw atau dengan menggunakan penalaran rasional atau berbagai
disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan,
5. Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai
suatu masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut[5].
B. Pembagian Metode Tafsir Tahlili
Dengan
demikian, dari segi pendekatannya, metode tafsir tahlili ada yang menggunakan sumber
dari sandaran hadist-hadist Rasulullah yang selanjutnya disebut tafsir bi
al-matstur, dan ada yang menggunakan dasar sumber tafsir dengan penalaran
atau pendapat yang disebut tafsir bi al-ra’yi.
1. Tafsir bi Al-Matsur
Tafsir bi
al-matsur adalah penafsiran dengan menengahkan
penafsiran pada para sahabat Nabi dan para kaum tabi’in yang selalu disertai
dengan isnad (sumber-sumber riwayat) dan diperbandingkan untuk memperoleh
penafsiran yang paling kuat dan tepat[6].
Mengandalkan
metode tahlili dengan pendekatan tafsir bi al-matstur memiliki
keistimewaan, namun juga memiliki kekurangan. Adapun keistimewaannya, yaitu:
1.
Menekankan
pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran
2.
Memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika meyampaikan pesan-pesannya
3.
Megikat
mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam
subjektifitas berlebihan
Adapun
kekurangan tafsir bi al-matsur yaitu:
1. Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesustrasaan yang
bertele-tele sehingga pesan pokok Al-quran menjadi kabur dicelah uraian itu
2. Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab nuzulatau situasi
kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh)
hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat tersebutbagaikan
turun bukan dalam satu masa atau berada ditengah-tengah masyarakat tanpa budaya[7].
Dalam
perkembangannya tafsir bi bi al-matstur terdapat silang pendapat pada riwayat-riwayat
yang dinukil dari pendahulu umat. Pendapat mereka sedikit sekali jumlahnya
disbanding dengan generasi sesudahnya. Itupun sebagian besar oerbedaan tersebut
hanya terletak pada aspek redaksional sedang maknanya tetap sama, atau hanya
berupa penafsiran kata-kata umum dengan salah satu makna yang dicangkupnya:
Berkata Ibn
Taimiyah: Perbedaaan pendapat dalam tafsir di kalangan salaf sedikit
jumlahnya. Dan pada umumnya perbedaan itu berkonotasi variatif, bukan
kontradiktif.
Perbedaan
tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam:
1) Pertama, seorang
mufasir diantara mereka mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi berbeda
dari seorang mufasir lain dan masing-masing redaksi itu menunjukan makna yang
berbeda pula tetapi maksud semuanya adalah sama. Misalnya penafsiran kata as-sirat
al-mustaqim. Sebagian menafsirkannya dengan qur’an, maksudnya
mengikuti qur’an, sedang yng lain dengan Islam. Kedua tafsiran ini sama,
sebab islam ialah mengikuti al-qur’an. Hanya saja masing-masing penafsiran itu
menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh orang lain.
2) Kedua, masing-masing
mufasir menafsirkan kata yang bersifat umum dengan menyebutkan sebagian makna
dari sekian banyak macamnya sebagai contoh danuntuk mengingatkan pendengar
bahwa kata tersebut mengandung bermacam-macam makna. Misalnya penafsiran firman
Allah:
“Kemudian
Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, namun di antara mereka ada yang berbuat aniaya (dzalim)
terhadap diri sendiri,ada pula yang bersikap moderat (muqtasid) da nada pula
yang terdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan”(QS.Fatir: 32).
Dikatakan sabiq
ialah orang yang menunaikan shalat diawal waktu, muqtasid ialah
orang yang melakukan shalat di tengah waktu, sedang zalim ialah orang
yang mengakhirkan shalat asar sampai saat langit berwarna kekuning-kuningan.
Mufasir lain mengatakan sabiq adalah orang yang berbuat baik dengan
bersedekah dismping zakat, muqtasid adalah orang yang menjalankan zakat wajib
saja, dan zalim adalah orang yang
enggan membayar zakat[8].
Contoh dari
tafsir ini, yaitu:
ؤ لله ا لمشر ق ؤ ا
لمغر ب فا ينما تؤ لؤ ا ؤ جه ا لله ا ن ا لله ؤ ا سع عليم
“Milik
Allah timur dan barat, maka kearah mana saja kamu menghadap, disana ada Allah.
Sesungguhnya Allah maha Lapang (memberikan toleransi untuk menghadap kepada-Nya
dimana saja)lagi maha Mengetahui”.(QS.Al-Baqarah: 115)
Yang
dimaksud dengan oleh Allah degan firmannya,ؤ لله ا لمشر ق ؤ ا لمغر ب ) ) ialah Allah berwenang penuh atas kepemilikan dan pengaturan keduanya,
seperti dikatakan: “rumah ini kepunyaan si Fulan”, artinya dia berwenang penuh
atas kepemilikan rumah itu.
Dalam kasus
ulama, ayat ini turun kepada Nabi SAW sebagai dispensasi dari Allah tentang
kebolehan menghadap kemana saja dalam shalat sunnat ketika sedang dalam
perjalanan, ketika perang, disaat ketakutan, atau menemuikesukaran di dalam
shalat wajib. Dengan demikian diberitahukan kepada Nabi bahwa ke mana saja
mereka menghadap maka disitu ada Allah[9].
Adapun
kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam deretan tafsir bi al matsur yaitu, Jami Al-Bayan fi Tafsiri Al-Qur’an karya
Imam Ibn Jarir al-Thabary, Ma’alim Al-Tanzil yang terkenal dengan Al-Tafsir
bi Al-Manqul karya Imam Al-Baghawi, Al-Durr Al-Matsur fy At-tafsir bi
Al-Ma’tsur karya Jalal al-Din Al-Suyuthy, Tanwir al-Miqyas min Tafsir
Ibn Abbas karya al-Fayruzabady, Tafsir al-Qur’n Al-‘Adhim karya Abu
Al-Fida’, dan Al-Bahr karya Abu al-Layts al-Samarqandy[10].
2.
Tafsir Bi Ar-Ra’y
Tafsir bi
ar-ra’y adalah tafsir ayat-ayat Al-qur’an yang
didasarkan pada ijtihad para mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai
pendekatan utamanya. Menurut Adz-Dzahaby, para ulama telah menetapkan
diterimanya tafsir ar-ra’y, bahwa penafsirnya: a). Benar-benar menguasai
bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya, b). Mengetahui asbabun nuzul,
nasikh mansukh, ilmu qiraat, dan ilmu-ilmu yang lain, c).Tidak
menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya,
d). Tidak menafsirkan ayat berdasarkan hawa nafsu dan interes pribadi, e).
Tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas bathil dengan
maksud justifikasi terhadap aliran tersebut, f). Tidak menganggap bahwa
tafsirnya itulah yang paling benar dan yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa
argumentasi yang pasti[11].
Contoh dari
pemikiran tafsir ini yaitu, dari penjelasan QS. Al-Baqarah: 115, yaitu sesuai
dengan maksud ayat فؤ ل ؤ جهك
شطر ا لمسجد الحر ا م حيثما كنتم فؤ لؤ ا ؤجؤ هكم شطر ه , “niscaya
(di sana ada Allah), artinya di tepat itu ada Allah, yaitu tempat yang
disenangi-Nya dan diperintahkan-Nya (kamu) untuk menghadap-Nya di situ”. Yang
dimaksud ialah apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masjidil Haram dan
Baitul Maqdis, maka janganlah khawatir sebab permukaan bumi telah Ku-jadikan
masjid tempat sembahyang bagimu. Dari itu, kamu boleh sembahyang di tempat mana
saja di muka bumi ini, dan silakan menghadap ke arah mana saja yang dapat kamu
lakukan ditempat itu, tidak terikat pada masjid tertentu dan tidak pula yang
lain, demikian pula tidak terikat lokasi mana pun. Hal itu dimungkainkan karena
Allah Maha Lapang dan Maha Luas. Dia ingin memberi kelonggaran dan kemudahan
kepada hamba-hamba-Nya (lagi Maha Mengetahui) tentang kemashlahatan dan
kebutuhan mereka. Latar belakang ini berdasarkan dengan latar belakang turunnya
ayat yang berkenaan denganshalatnya seorang musafir di atas kendaraan di mana
dia menghadap arah kendaraannya[12].
Adapun
metode tahlili yang menggunakan pendek dan rasio atau tafsir bi
ar-ra’y dikalangan para ulama adanya perbedaan pendapat, yaitu ada yang
mengharamkan dan adapula yang membolehkan. Pendapat yang mengharamkan
berdasarkan pada hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: “barang siapa
yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu atau pemikirannya sendiri, berarti ia
telah menyediakan tempatnya didalam neraka”. Sementara pendapat yang
membolehkan bahwa yang dimaksudkan dengan pendapatnya sendiri, adalah
penafsiran yang tanpa disertai dalil atau hujjah atau karena orang berusaha menafsirkan
Al-quran padahal ia tidak menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab dan pokok hukum
agama, atau karena dorongan hawa nafsu yang hendak memutarbalikan makna
ayat-ayat Al-Qur’an. Upaya ini sejalan dengan perintah Allah sebagaimana dalam
sebuah ayat: “Al-Qur’an adalah Kitab yang telah kami turunkan kepadamu
(Muhammad), penuh dengan berkah agar mereka memikirkan ayat-ayat-Nya dan agar
orang-orang yang berakal dapat memperoleh pelajaran”. (QS. Shaad: 29)[13].
Menurut
hasil penelitian, bahwa tafsir yang paling terkenal yang memenuhi syarat tafsir
ar-ra’y yaitu Mafaatih al-Ghaib karya ar-Razi, Anwar al-Tanzil wa
Asraaru al-ta’wil karya al-Baidhawi, Lubaab al-Ta’wil fi Ma’an al-Tanzil
karya Khazin[14].
Namun
seiring perkembangan zaman, selanjutnya metode tahlili berkembang menjadi
beberapa bagian, yaitu: at-tafsir al-shufi,
tafsir al-falsafy, tafsir al-fiqhi,
tafsir al-‘ilmy, dan tafsir al-adaby al-ijtima’y.
1.
Tafsir al-Shufy
Tafsir al-Shufy
adalah tafsir yang berusaha menjelaskan maksud ayat Al-Qur’an dari sudut
esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak dari seorang
sufi dalam suluknya.
Tafsir ini
ada dua macam, yaitu: tafsir shufy nadzari (teoritis) yaitu tafsir yang
cenderung menafsirkan ayat Al-Qur’an berdasaran teori-teori atau paham-paham
tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari
penafsiran bahasa dan tafsir shufy praktis (‘amali) yaitu menakwilkan
ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat (samar) yang tampak
oleh sufi dalam suluknya.
Diantara
kitab-kitab tafsir shufy antara lain tafsir al-Qur’an al-‘Adhim karya
al-Tsauri, Haqaiq al-Tafsir karya al-Sulami, dan ‘Arais al-Bayan fy
Haqaiq al-Qur’an karya al-Syirazy[15].
Sebagai
cotoh berkenaan dengan firman Allah:
“dan
Kami mengangkatnya ke tempat paling tinggi”. (QS.Maryam: 57). Ia berkata,
“tempat paling tinggi adalah tempat yang diputari rotasi alam raya, yaitu orbit
matahari. Disitulah maqam (tempat tinggal) rohani Idris....”. kemudian
Ia berkata lebih lanjut: “adapun kedudukan (bukan tempat) paling tinggi adalah
tempat untuk kita, umat Muhammad, sebagaimana telh dijelaskan-Nya,kalian
adalah orang-orang yang paling tinggi dan Allah (pun) senantiasa bersama kalian
(QS.Muhammad: 35). Jadi yang maksudkan (berkenaan dengan Idris) ini adalah
ketinggian tempat, bukan ketinggian kedudukan[16].
2.
Tafsir al-Falsafy
Tafsir al-fasafy
adalah penafsiran ayat-ayat
Al-qur’an berdasarkan pendekatan-pendekatan filosofis, baik yang berusaha untuk
mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat degan
ayat-ayat Al-qur’an maupun yan berusaha menolak teori-teori filsafat yang
dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-qur’an.
Segi
positif dari tafsir ini adalah karena berusaha mengkaji secara filosofis
ayat-ayat Al-qur’an yang dapat dikonsumsi oleh kaum cendekiawan, sekaligus
memperlihatkan ketinggian dan kedalaman dari ajaran tersebut. Adapun segi
negatifnya adalah terjadinya kemungkinan pemaksaan ayat Al-Quran untuk
disesuaikan atau dicocok-cocokan dengan suatu teori atau paham filsafat yang
ada.
Contoh dari
kitab tafsir ini adalah al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb karya
al-Fakhr al-Razi[17].
3.
Tafsir Al-Fiqhy
Tafsir al-fiqhy
adalah tafsir yang menitikberatkan bahasan dan tinjauannya pada aspek hukum
dari Al-qur’an.
Keistimewaan
tafsir ini adalah menolong kita mendapatkan rujukan-rujukan yang berharga dalam
bidang hukum islam. Adapun kekurangnnya, disamping bersifat sekretarian juga
cenderung melihat hukum islam secara legal-formal yang tidak
memperlihatkan segi-segi dinamika dan hukum islam itu sendiri.
Kitab-kitab
tafsir yang termasuk dalam tipe ini, antara lain: Ahkam al-Qur’an karya
Al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an karya al-‘Araby, dan Al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an karya imam al-Qurtuby[18].
Jadi,
sistem penafsiran menggunakan tafsir ini melihat dari segi pembahasan tinjauan
pada aspek hukum islam di dalam Al-qur’an sebagai pendekatannya.
4.
Tafsir al-‘Ilmy
Tafsir al-‘ilmy
adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan pendekatan ilmiah, atau
menggali kandungan ayat berdasarkan ilmu pengetahuan.
Oleh karena
itupenafsiran ilmiah dapat diterima dengan memenuhi syarat-syarat: penafsiran
ilmiah sedapat mungkin mengikuti pola tafsir mauhu’iy untuk menghindari
parsialisasi, ayat-ayat Al-Quran tidak hanya befungsi sebagai justifikasi
terhadap teori-teori ilmiah yang ada, dan tidak bertentangan dengan ketentuan
bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran.
Segi
positif dari penafsiran ini, adalah memperlihatkan bahwa Al-Quran sesungguhnya
tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, bahkan Al-Quran mendorong
pengembangan ilmu pengetahuan untuk
kepentingan manusia. Adapun segi negatifnya adalah adanya kecenderungan
pemaksaan ayat-ayat Al-Quran sendiri yang pada gilirannya dapat menimbulkan
keraguan terhadap keraguan Al-Quran.
Kitab-kitab
tafsir ini antara lain: Jawahir fy al-Qur’an karya Syaikh Thanthwi
Jawhari, al-Islam fy ‘Ashr al-‘Ilmi karya Dr. Muhammad Ahmad
al-Ghamrawy, dan al-Ghida’ wa al-Dawa karya Dr.Jamal al-Din al-Fandy[19].
5.
Tafsir al-adaby al-ijtima’y.
Tafsir al-adaby
al-ijtima’y merupakan tafsir yang menitikberatkan pada penjelasan ayat-ayat
al-qur’an dari segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan
ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan
utama dari tujuan-tujuan Al-Quran yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan,
kemudian mengadakan penjelasan ayat dengan hukum-hukum yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan.
Unsur pokok
dari tafsir ini, yaitu: menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat Al-Quran,
dengan susunan kalimat yang indah, eksentuasi yang menonjol pada tujuan
diuraikannya Al-Quran, dan penafsiran ayat dikaitkan dengan sunnatullah yang
berlaku dalam masyarakat.
Kelebihan
dari tafsir ini, yaitu membumikan Al-Quran dalam kehidupan manusia, menjadikan
ajaran-ajaran Al-Quran menjadi lebih praktis dan pragmatis. Sedangkan
kekurangannya adalah adanya kecenderunga melegalisasi masalah-masalah sosial
budaya yang timbul seiring dengan perkembangan ilmu dan adanya potensi kearah
pemaksaan ayat-ayat Al-Quran untuk tunduk pada teori-teori ilmiah.
Kitab-kitab
tasir yang mengggunakan metode ini, antara lain: tafsir al-Manar karya
Syaikh Muh.Abduh dan Rasyid Ridha, tafsir al-Qur’an karya Syaikh Ahmad
Musthafa al-Maraghi, tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Syaltut dan tafsir
al-Wadhih karya Mahmud Hijazy[20].
C. Ciri-ciri Metode Tafsir Tahlili
Ciri-ciri
tafsir tahlili dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Membahas segala sesuatu yang menyangkut satu ayat
2. Tafsir at-tahlili terbagi sesuai dengan bahasan yang ditonjolkannya seperti
hukum, riwayat dan lain-lain
3. Pembahasannya disesuaikan menurut urutan ayat
4. Titik beratnya adalah lafadznya
5. Menyebutkan munasabah ayat, sekaligus untuk enunjukkan wihdah Al-Quran
6. Menggunakan asbab an-nuzul
7. Mufasir beranjak ke ayat lain setelah ayat itu dianggap selesai meskipun
masalahnya belum selesai, karena akan diselesaikan oleh ayat lain,
8. Persoalan yang dibahas belum tuntas,
Adapun
ciri-ciri dalam metode analitis yaitu:
1. Menafsirkan ayat-ayat al-qur’an secara berurutan dari ayat pertama sampai
ayat terakhir dalam mushaf tanpa memerlukan tema atau topik bahasan,
2. Bukan menafsirkan al-qur’an dari awal mushaf sampai akhirnya, melainkan
terletak pada pola pembahasan dan analisisnya
3. Melebar dalam penafsirannya
D. Kelebihan dan Kekurangan Metode
Tahlili
1) Ruang lingkup yang luas
Penafsiran
dengan menggunakan metode ini, dikembangkan menurut keahlian para masing-masing
mufasir. Contohnya, dalam ahli bahasa berpeluang untuk menafsirkan bahasa
al-qur’an dari pemahaman kebahasaaan, seperti tarsir al-Nasafi karangan
Abu al-Su’ud, ahli qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan titik tolak dalam
penafsirannya. Begitu pula ahli tafsir dalam menafsirkan dari berbagai sudut
pandang sesuai dengan keahliannya masing-masing. Akan tetapi kembali lagi dalm
menafsirkannya sesuai dengan kaidah cara penafsiran yang berlaku.
2) Memuat berbagai Macam Ide
Tafsir ini
memuat berbagai macam ide dari para mufasir, dimana mufasir lebih mempunyai
kebebasan dalam memajukan dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al-qur’an[22].
Adapun
kekurangan dari metode ini yaitu:
1) Menjadikan petunjuk
al-qur’an parsial
Bersifat
parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa sekan-akan al-qur’an memberikan
pedoman yang tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan
pada suatu ayat berbeda dengan penafsiran ayat-ayat lain yang sama dengannya.
Ketidakmauan para mufasir untuk memperhatikan ayat-ayat yang lain disebut
sebagai salah satu konsekuesi logis dari penafsiran yang menggunakan metode
analitis, karena di dalam metode ini tidak ada keharusan bagi mufasir untuk
membandingkan penafsiran suatu ayat dengan ayat yang lain sebagaimana yang
diutamakan dalam tafsir dengan metode komparatif..
2) Melahirkan penafsiran yang
Subjektif
Di dalam
metode analitis, para mufasir mengemukakan ide-ide dan pemikirannya, sehingga
terkadang mufasir bahwa dia telah menafsirkan ayat al-qur’an secara subjektif,
dan mustahil diantara mereka ada yang menafsirkan al-qur’an sesuai dengan hawa
nafsunya tanpa menindahkan norma-norma yang berlaku. Sikap subjektif ini
dikarenakan fanatiknya terhadap suatu madzhab.
Jadi, sikap
subjektif para mufasir dalam metode ini, mendapat tempat yang luas bila
dibandingkan metode lainnya. Dikarenakan sangat menonjolnya sikap subjektif
mufasir inilah yang menjadikan metode ini menjadi lemah dan kurang
representatif.
3) Masuk pemikiran israiliat
Dikarenakan
metode tahlili tidak membatasi dalam mengemukakan pemikiran-pemikiran
tafsirnya, maka berbagai pemikiran masuk tidak terkecuali pemikiran israiliat.
Sebelumnya kisah-kisah israiliat tidak ada persoalan, selama tidak dikaitkan
dengan pemahaman al-qur’an. Namun setelah memasuki tafsir tahlili akan timbul
negatifnya[23].
Kekurangan
atau kelemahan dalam metode tahlili tidak berarti sesuatu yang negative,
sehingga dalam pemikiran kita dilarang dalam menggunakan metode ini. Tidak
demikian, namun ini akan menjadikan para ahli tafsir agar lebih berhati-hati
dalam menafsirkan suatu ayat, sehingga tidak terjadi salah penafsiran.
- Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah
- kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari [w.310H],
- Ma’alim al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H],
- Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan tafsir Ibn Katsir] karangan Ibn Katsir [w.774H],
- al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H].
- Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra’y banyak sekali, antara lain:
- Tafsir Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H
- Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baydhawi [w.691H],
- al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari [w.538H],
- ’Arais al-Bayan fi Haqaia al-Qur’an karangan al-Syirazi [w.606H],
- al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al-Fakhr al-Razi [w.606H],
- Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H)
- al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an karangan Thanthawi Jauhari,
- Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd (w.982 H).
- Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha [w.1935] dan lain-lain.
Jadi, pola penafsiran yang
diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab tafsir
di atas terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung
di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara komprehensif dan
menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur
maupun al-ra’y
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode
analitis atau metode tahlili yaitu, menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan
serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian
dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.Pembagian metode
tafsir tahlili, dibagi menjadi beberapa bagian seiring perkembangan zaman dan
kebutuhan akan penjelasan suatu ayat di dalam al-qur’an, yaitu tafsir bi
al-matstur, da nada yang menggunakan dasar penalaran atau pendapat yang
disebut tafsir bi al-ra’yi, at-tafsir al-shufi, tafsir al-fasafy, tafsir al-fiqhi, tafsir al-‘ilmy, dan tafsir al-adaby
al-ijtima’y.
Dalam
menafsirkan suatu ayat para mufasir menggunakan kaidah-kaidah yang telah
ditentukan. Adapun metode tahlili dengan segala kelebihan dan kekurangannya,
yang akan menjadikan para ahli tafsir memiliki sikap kehati-hatian dalam
menafsirkan suatu ayat agar tidak terjadi salah penafsiran.
Dalam
perkembangan tafsir, metode tahlili telah menyumbangkan peran yang besar dalam
andilnya perkembangan ilmu tafsir, di mana para ahli tafsir yang mampu
menghasilkan karya-karya mereka.
B.
Saran
Penulis menyadari karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kitik dan saran guna melengkapi makalah ini, agar nantinya
dalam pembuatan makalah-makalah ke depannya jauh lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qattan, Manna
Khalil,
Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: Litera
AntarNusa, 2012
Dr.Nashruddin Baidan,
Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998
H.M. Quraish Shihab,
Membumikan Al-qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga,
Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005
Prof.Dr.H.Abuddin Nata M.A,
Studi Islam
Komperhensif, Jakarta: Kenca Prenada
Media Grup, 2011
[1] Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i MA, Pengantar
Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal 241
[2] Ibid, hal 241
[3] Dr.nasruddin
Baidan, Metodiologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), hal.31
[4] Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag, Metodologi Ilmu
Tafsir, (Bandung : Tafakur, 2009), hal 103
[5] Prof. DR.H.
Abudin Nata,M.A, Studi Islam Komperhesif, (Jakarta: Kencana, 2011),
hal.169
[7] H.M. Quraish
Shihab, Membumikan Al-qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hal.84
[10] Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga, Pengantar
Studi Islam, (Yogyakarta: POKJA Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005),
hal.71
0 komentar:
Posting Komentar