Senin, 15 Desember 2014

METODE TAFSIR TAHLILI



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Al-quran sebagai sumber ajaran Islam pertama dan sebagai pedoman umat Islam, didalamnya terdapat berbagai macam ayat yang membutuhkan penafsiran untuk memahaminya dan mempelajarinya. Aktifitas menafsirkan Al-Quran yang dilakukan pertama kali oleh Nabi Saw, telah dilanjutkan oleh generasi sesudahnya. Hal itu berlangsung terus menerus melalui berbagai periode sampai saat ini dengan mengalami banyak perkembangan, baik dalam metode yang ditempuh maupun corak yang dipilih oleh para mufasir, sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahlian masing-masing mufasir, serta berdasarkan tuntutan zaman yang dihadapinya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita saksikan beraneka ragam corak penafsiran yang ditampilkan oleh para mufasir dalam tafsir mereka[1]
 Dari hal inilah sehingga Para ulama telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka dibidang tafsir ini, dan menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir, metode-metode yang dimaksud yaitu metode tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan maudhu’iy.
Salah satu metode penafsiran Al-Quran yang muncul sejak akhir abad II/awal abad III H periode pembukuan tafsir sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri adalah corak penafsiran yang dalam istilah Dr. Abdul Hay Al-Farmawi disebut tafsir at-tahlili. Metode penafsiran ini berusaha menerangkan arti ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya berdasarkan urutan-urutan ayat dan surat dalam mushaf. Ia juga menonjolkan pengertian dan kandungan lafazh-lafazhnya, hubungan ayat-ayatnya, sebab-sebab nuzulnya, hadis-hadis Nabi Saw. Serta memasukkan semua penjelasan yang ada kaitannya dengan ayat-ayat itu, serta pendapat sahabat dan tabi’in atau pendapat para mufasir lainnya.[2]
Banyak cara pendekatan dan pembagian tafsir yang mengandalkan penalaran ataupun analitis, sehingga akan sangat luas pembahasan apabila kita bermaksud menelusurinya satu demi satu.
Pentingnya metode tafsir tahlili dalam menafsirkan ayat-ayat Al-quran adalah untuk membantu dan memudahkan bagi orang yang ingin mempelajari dan memahami ayat Al-Quran itu sendiri secara mendalam.
Dalam pembahasan makalah ini, pemakalah akan mencoba menjelaskan dan menguraikan dari pengertian metode tafsir tahlili, pembagian dari metode tafsir tahlili, ciri-ciri metode ini,dan juga kelebihan dan kekurangan metode tahlili.

B.     Rumusan Masalah
1.        Apakah pengertian dari metode tafsir tahlili?
2.        Bagaimanakah pembagian dari metode tafsir tahlili?
3.        Apa sajakah ciri-ciri dari metode tafsir tahlili?
4.        Bagaimana kelebihan dan kekurangan metode tafsir tahlili

 C.    Tujuan Penulisan:
1.      Untuk mendeskripsikan dari pengertian metode tafsir tahlili,
2.      Untuk mengetahui pembagian dari metode tafsir tahlili,
3.      Untuk mengetahui ciri-ciri dari metode tafsir tahlili,
4.      Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan metode tafsir tahlili.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Metode Tafsir Tahlili
Kata “tahlili” berasal dari bahasa Arab yakni “hallala-yuhallilu” yang berarti menguraikan atau menganalisa. Yang dimaksud dengan metode analitis yaitu, menafsirkan ayat-ayat Al-quran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan maknanya yang dikandung oleh Al-qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitannnya dengan ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya, dan tak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh nabi, sahabat, para tabi’in maupun tafsir lainnya[3].
       Metode tafsir at-tahlili yang biasa disebut metode tajzi’i ini termasuk metode tafsir tertua usianya. Metode at-tahlili, menurut Quraish Shihab, lahir jauh sebelum metode tafsir maudhu’i. Metode ini sudah dikenal sejak ahli tafsir al-Farra (w. 206 H/821 M) menerbitkan kitab tafsirnya itu atau sejak Ibn Majah (w.237 H/851 M), atau selambat lambatnya sejak masa ath Thabari (w.310 H/922 M).
Kitab-kitab tafsir Al-Quran yang pernah ditulis para mufassir masa-masa awal pembukuan tafsir hampir atau bahkan semuanya, menggunakan metode at-tahlili. Metode itu bisa berbentuk tafsir bi al-ma’tsur seperti jami al-Bayan Ga’wil ayi al-Quran karya Ibnu Jarir ath Thabari atau tafsir bi al-ra’yi seperti at-tafsir al-kabir atau Mafatih al-Ghaib karya Muhammad Fakhr al-Din ar-Razi. Aliran tafsir bi al-isyarah atau al-bathiniyyah pun menampilkan tafsir dengan metode at-tahlili seperti kitab Gharai al-Quran wa Raghain al-Furqan karya an-Naysaburi (w.728 H/1328 M).[4]
Metode tahlili atau yang dinamai Baqr Al-Shadr sebagai metode tajzi’i adalah suatu metode tafsir yang mufasirya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat dari berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat Al-quran sebagaimana yang tercantum dalam mushaf.
Berbagai aspek yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tajzi’iy/tahlily diuraikan, yang tahapan kerjanya yaitu dimulai dari:
1.      Bermula dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana urutan dalam Al-quran, mulai dari Surah Al Fatihah hingga Surah An-Nass,
2.      Menjelaskan asbabun nuzul ayat ini dengan menggunakan keterangan yang diberikan oleh hadist (bir riwayah),
3.      Menjelaskan munasabah, atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelum atau sesudahnya,
4.      Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan hadist Rasulullah Saw atau dengan menggunakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah pendekatan,
5.      Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut[5].
B.     Pembagian Metode Tafsir Tahlili
Dengan demikian, dari segi pendekatannya, metode tafsir tahlili ada yang menggunakan sumber dari sandaran hadist-hadist Rasulullah yang selanjutnya disebut tafsir bi al-matstur, dan ada yang menggunakan dasar sumber tafsir dengan penalaran atau pendapat yang disebut tafsir bi al-ra’yi.
1.    Tafsir bi Al-Matsur
Tafsir bi al-matsur adalah penafsiran dengan menengahkan penafsiran pada para sahabat Nabi dan para kaum tabi’in yang selalu disertai dengan isnad (sumber-sumber riwayat) dan diperbandingkan untuk memperoleh penafsiran yang paling kuat dan tepat[6].
Mengandalkan metode tahlili dengan pendekatan tafsir bi al-matstur memiliki keistimewaan, namun juga memiliki kekurangan. Adapun keistimewaannya, yaitu:
1.        Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran
2.        Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika meyampaikan pesan-pesannya
3.        Megikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektifitas berlebihan
Adapun kekurangan tafsir bi al-matsur yaitu:
1.      Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesustrasaan yang bertele-tele sehingga pesan pokok Al-quran menjadi kabur dicelah uraian itu
2.      Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab nuzulatau situasi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat tersebutbagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada ditengah-tengah masyarakat tanpa budaya[7].
Dalam perkembangannya tafsir bi bi al-matstur  terdapat silang pendapat pada riwayat-riwayat yang dinukil dari pendahulu umat. Pendapat mereka sedikit sekali jumlahnya disbanding dengan generasi sesudahnya. Itupun sebagian besar oerbedaan tersebut hanya terletak pada aspek redaksional sedang maknanya tetap sama, atau hanya berupa penafsiran kata-kata umum dengan salah satu makna yang dicangkupnya:
Berkata Ibn Taimiyah: Perbedaaan pendapat dalam tafsir di kalangan salaf sedikit jumlahnya. Dan pada umumnya perbedaan itu berkonotasi variatif, bukan kontradiktif.
Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam:
1)      Pertama, seorang mufasir diantara mereka mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi berbeda dari seorang mufasir lain dan masing-masing redaksi itu menunjukan makna yang berbeda pula tetapi maksud semuanya adalah sama. Misalnya penafsiran kata as-sirat al-mustaqim. Sebagian menafsirkannya dengan qur’an, maksudnya mengikuti qur’an, sedang yng lain dengan Islam. Kedua tafsiran ini sama, sebab islam ialah mengikuti al-qur’an. Hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh orang lain.
2)      Kedua, masing-masing mufasir menafsirkan kata yang bersifat umum dengan menyebutkan sebagian makna dari sekian banyak macamnya sebagai contoh danuntuk mengingatkan pendengar bahwa kata tersebut mengandung bermacam-macam makna. Misalnya penafsiran firman Allah:
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, namun di antara mereka ada yang berbuat aniaya (dzalim) terhadap diri sendiri,ada pula yang bersikap moderat (muqtasid) da nada pula yang terdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan”(QS.Fatir: 32).
Dikatakan sabiq ialah orang yang menunaikan shalat diawal waktu, muqtasid ialah orang yang melakukan shalat di tengah waktu, sedang zalim ialah orang yang mengakhirkan shalat asar sampai saat langit berwarna kekuning-kuningan. Mufasir lain mengatakan sabiq adalah orang yang berbuat baik dengan bersedekah dismping zakat, muqtasid  adalah orang yang menjalankan zakat wajib saja, dan  zalim adalah orang yang enggan membayar zakat[8].
Contoh dari tafsir ini, yaitu:
ؤ لله ا لمشر ق ؤ ا لمغر ب فا ينما تؤ لؤ ا ؤ جه ا لله ا ن ا لله ؤ ا سع عليم
Milik Allah timur dan barat, maka kearah mana saja kamu menghadap, disana ada Allah. Sesungguhnya Allah maha Lapang (memberikan toleransi untuk menghadap kepada-Nya dimana saja)lagi maha Mengetahui”.(QS.Al-Baqarah: 115)
Yang dimaksud dengan oleh Allah degan firmannya,ؤ لله ا لمشر ق ؤ ا لمغر ب )  ) ialah Allah berwenang penuh atas kepemilikan dan pengaturan keduanya, seperti dikatakan: “rumah ini kepunyaan si Fulan”, artinya dia berwenang penuh atas kepemilikan rumah itu.
Dalam kasus ulama, ayat ini turun kepada Nabi SAW sebagai dispensasi dari Allah tentang kebolehan menghadap kemana saja dalam shalat sunnat ketika sedang dalam perjalanan, ketika perang, disaat ketakutan, atau menemuikesukaran di dalam shalat wajib. Dengan demikian diberitahukan kepada Nabi bahwa ke mana saja mereka menghadap maka disitu ada Allah[9].
Adapun kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam deretan tafsir bi al matsur  yaitu, Jami Al-Bayan fi Tafsiri Al-Qur’an karya Imam Ibn Jarir al-Thabary, Ma’alim Al-Tanzil yang terkenal dengan Al-Tafsir bi Al-Manqul karya Imam Al-Baghawi, Al-Durr Al-Matsur fy At-tafsir bi Al-Ma’tsur karya Jalal al-Din Al-Suyuthy, Tanwir al-Miqyas min Tafsir Ibn Abbas karya al-Fayruzabady, Tafsir al-Qur’n Al-‘Adhim karya Abu Al-Fida’, dan Al-Bahr karya Abu al-Layts al-Samarqandy[10].
2.    Tafsir Bi Ar-Ra’y
Tafsir bi ar-ra’y adalah tafsir ayat-ayat Al-qur’an yang didasarkan pada ijtihad para mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya. Menurut Adz-Dzahaby, para ulama telah menetapkan diterimanya tafsir ar-ra’y, bahwa penafsirnya: a). Benar-benar menguasai bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya, b). Mengetahui asbabun nuzul, nasikh mansukh, ilmu qiraat, dan ilmu-ilmu yang lain, c).Tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya, d). Tidak menafsirkan ayat berdasarkan hawa nafsu dan interes pribadi, e). Tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas bathil dengan maksud justifikasi terhadap aliran tersebut, f). Tidak menganggap bahwa tafsirnya itulah yang paling benar dan yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang pasti[11].
Contoh dari pemikiran tafsir ini yaitu, dari penjelasan QS. Al-Baqarah: 115, yaitu sesuai dengan maksud ayat فؤ ل ؤ جهك شطر ا لمسجد الحر ا م حيثما كنتم فؤ لؤ ا ؤجؤ هكم شطر ه ,niscaya (di sana ada Allah), artinya di tepat itu ada Allah, yaitu tempat yang disenangi-Nya dan diperintahkan-Nya (kamu) untuk menghadap-Nya di situ”. Yang dimaksud ialah apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masjidil Haram dan Baitul Maqdis, maka janganlah khawatir sebab permukaan bumi telah Ku-jadikan masjid tempat sembahyang bagimu. Dari itu, kamu boleh sembahyang di tempat mana saja di muka bumi ini, dan silakan menghadap ke arah mana saja yang dapat kamu lakukan ditempat itu, tidak terikat pada masjid tertentu dan tidak pula yang lain, demikian pula tidak terikat lokasi mana pun. Hal itu dimungkainkan karena Allah Maha Lapang dan Maha Luas. Dia ingin memberi kelonggaran dan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya (lagi Maha Mengetahui) tentang kemashlahatan dan kebutuhan mereka. Latar belakang ini berdasarkan dengan latar belakang turunnya ayat yang berkenaan denganshalatnya seorang musafir di atas kendaraan di mana dia menghadap arah kendaraannya[12].
Adapun metode tahlili yang menggunakan pendek dan rasio atau tafsir bi ar-ra’y dikalangan para ulama adanya perbedaan pendapat, yaitu ada yang mengharamkan dan adapula yang membolehkan. Pendapat yang mengharamkan berdasarkan pada hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: “barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu atau pemikirannya sendiri, berarti ia telah menyediakan tempatnya didalam neraka”. Sementara pendapat yang membolehkan bahwa yang dimaksudkan dengan pendapatnya sendiri, adalah penafsiran yang tanpa disertai dalil atau hujjah atau karena orang berusaha menafsirkan Al-quran padahal ia tidak menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab dan pokok hukum agama, atau karena dorongan hawa nafsu yang hendak memutarbalikan makna ayat-ayat Al-Qur’an. Upaya ini sejalan dengan perintah Allah sebagaimana dalam sebuah ayat: “Al-Qur’an adalah Kitab yang telah kami turunkan kepadamu (Muhammad), penuh dengan berkah agar mereka memikirkan ayat-ayat-Nya dan agar orang-orang yang berakal dapat memperoleh pelajaran”. (QS. Shaad: 29)[13].
Menurut hasil penelitian, bahwa tafsir yang paling terkenal yang memenuhi syarat tafsir ar-ra’y yaitu Mafaatih al-Ghaib karya ar-Razi, Anwar al-Tanzil wa Asraaru al-ta’wil karya al-Baidhawi, Lubaab al-Ta’wil fi Ma’an al-Tanzil karya Khazin[14].
Namun seiring perkembangan zaman, selanjutnya metode tahlili berkembang menjadi beberapa bagian, yaitu: at-tafsir al-shufi,  tafsir al-falsafy, tafsir al-fiqhi,  tafsir al-‘ilmy, dan tafsir al-adaby al-ijtima’y.
1.      Tafsir al-Shufy
Tafsir al-Shufy adalah tafsir yang berusaha menjelaskan maksud ayat Al-Qur’an dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak dari seorang sufi dalam suluknya.
Tafsir ini ada dua macam, yaitu: tafsir shufy nadzari (teoritis) yaitu tafsir yang cenderung menafsirkan ayat Al-Qur’an berdasaran teori-teori atau paham-paham tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari penafsiran bahasa dan tafsir shufy praktis (‘amali) yaitu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat (samar) yang tampak oleh sufi dalam suluknya.
Diantara kitab-kitab tafsir shufy antara lain tafsir al-Qur’an al-‘Adhim karya al-Tsauri, Haqaiq al-Tafsir karya al-Sulami, dan ‘Arais al-Bayan fy Haqaiq al-Qur’an karya al-Syirazy[15].
Sebagai cotoh berkenaan dengan firman Allah:
dan Kami mengangkatnya ke tempat paling tinggi”. (QS.Maryam: 57). Ia berkata, “tempat paling tinggi adalah tempat yang diputari rotasi alam raya, yaitu orbit matahari. Disitulah maqam (tempat tinggal) rohani Idris....”. kemudian Ia berkata lebih lanjut: “adapun kedudukan (bukan tempat) paling tinggi adalah tempat untuk kita, umat Muhammad, sebagaimana telh dijelaskan-Nya,kalian adalah orang-orang yang paling tinggi dan Allah (pun) senantiasa bersama kalian (QS.Muhammad: 35). Jadi yang maksudkan (berkenaan dengan Idris) ini adalah ketinggian tempat, bukan ketinggian kedudukan[16].
2.      Tafsir al-Falsafy
Tafsir al-fasafy  adalah penafsiran ayat-ayat Al-qur’an berdasarkan pendekatan-pendekatan filosofis, baik yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat degan ayat-ayat Al-qur’an maupun yan berusaha menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-qur’an.
Segi positif dari tafsir ini adalah karena berusaha mengkaji secara filosofis ayat-ayat Al-qur’an yang dapat dikonsumsi oleh kaum cendekiawan, sekaligus memperlihatkan ketinggian dan kedalaman dari ajaran tersebut. Adapun segi negatifnya adalah terjadinya kemungkinan pemaksaan ayat Al-Quran untuk disesuaikan atau dicocok-cocokan dengan suatu teori atau paham filsafat yang ada.
Contoh dari kitab tafsir ini adalah al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb karya al-Fakhr al-Razi[17].
3.      Tafsir Al-Fiqhy
Tafsir al-fiqhy adalah tafsir yang menitikberatkan bahasan dan tinjauannya pada aspek hukum dari Al-qur’an.
Keistimewaan tafsir ini adalah menolong kita mendapatkan rujukan-rujukan yang berharga dalam bidang hukum islam. Adapun kekurangnnya, disamping bersifat sekretarian juga cenderung melihat hukum islam secara legal-formal yang tidak memperlihatkan segi-segi dinamika dan hukum islam itu sendiri.
Kitab-kitab tafsir yang termasuk dalam tipe ini, antara lain: Ahkam al-Qur’an karya Al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an karya al-‘Araby, dan Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya imam al-Qurtuby[18].
Jadi, sistem penafsiran menggunakan tafsir ini melihat dari segi pembahasan tinjauan pada aspek hukum islam di dalam Al-qur’an sebagai pendekatannya.
4.      Tafsir al-‘Ilmy
Tafsir al-‘ilmy adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungan ayat berdasarkan ilmu pengetahuan.
Oleh karena itupenafsiran ilmiah dapat diterima dengan memenuhi syarat-syarat: penafsiran ilmiah sedapat mungkin mengikuti pola tafsir mauhu’iy untuk menghindari parsialisasi, ayat-ayat Al-Quran tidak hanya befungsi sebagai justifikasi terhadap teori-teori ilmiah yang ada, dan tidak bertentangan dengan ketentuan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran.
Segi positif dari penafsiran ini, adalah memperlihatkan bahwa Al-Quran sesungguhnya tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, bahkan Al-Quran mendorong pengembangan ilmu pengetahuan  untuk kepentingan manusia. Adapun segi negatifnya adalah adanya kecenderungan pemaksaan ayat-ayat Al-Quran sendiri yang pada gilirannya dapat menimbulkan keraguan terhadap keraguan Al-Quran.
Kitab-kitab tafsir ini antara lain: Jawahir fy al-Qur’an karya Syaikh Thanthwi Jawhari, al-Islam fy ‘Ashr al-‘Ilmi karya Dr. Muhammad Ahmad al-Ghamrawy, dan al-Ghida’ wa al-Dawa karya Dr.Jamal al-Din al-Fandy[19].
5.      Tafsir al-adaby al-ijtima’y.
Tafsir al-adaby al-ijtima’y merupakan tafsir yang menitikberatkan pada penjelasan ayat-ayat al-qur’an dari segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama dari tujuan-tujuan Al-Quran yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian mengadakan penjelasan ayat dengan hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan.
Unsur pokok dari tafsir ini, yaitu: menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat Al-Quran, dengan susunan kalimat yang indah, eksentuasi yang menonjol pada tujuan diuraikannya Al-Quran, dan penafsiran ayat dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Kelebihan dari tafsir ini, yaitu membumikan Al-Quran dalam kehidupan manusia, menjadikan ajaran-ajaran Al-Quran menjadi lebih praktis dan pragmatis. Sedangkan kekurangannya adalah adanya kecenderunga melegalisasi masalah-masalah sosial budaya yang timbul seiring dengan perkembangan ilmu dan adanya potensi kearah pemaksaan ayat-ayat Al-Quran untuk tunduk pada teori-teori ilmiah.
Kitab-kitab tasir yang mengggunakan metode ini, antara lain: tafsir al-Manar karya Syaikh Muh.Abduh dan Rasyid Ridha, tafsir al-Qur’an karya Syaikh Ahmad Musthafa al-Maraghi, tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Syaltut dan tafsir al-Wadhih karya Mahmud Hijazy[20].
C.  Ciri-ciri Metode Tafsir Tahlili
Ciri-ciri tafsir tahlili dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Membahas segala sesuatu yang menyangkut satu ayat
2.      Tafsir at-tahlili terbagi sesuai dengan bahasan yang ditonjolkannya seperti hukum, riwayat dan lain-lain
3.      Pembahasannya disesuaikan menurut urutan ayat
4.      Titik beratnya adalah lafadznya
5.      Menyebutkan munasabah ayat, sekaligus untuk enunjukkan wihdah Al-Quran
6.      Menggunakan asbab an-nuzul
7.      Mufasir beranjak ke ayat lain setelah ayat itu dianggap selesai meskipun masalahnya belum selesai, karena akan diselesaikan oleh ayat lain,
8.      Persoalan yang dibahas belum tuntas,
Adapun ciri-ciri dalam metode analitis yaitu:
1.      Menafsirkan ayat-ayat al-qur’an secara berurutan dari ayat pertama sampai ayat terakhir dalam mushaf tanpa memerlukan tema atau topik bahasan,
2.      Bukan menafsirkan al-qur’an dari awal mushaf sampai akhirnya, melainkan terletak pada pola pembahasan dan analisisnya
3.      Melebar dalam penafsirannya
4.      Tidak menuntaskan permasalahan melainkan sesuai dengan kapasitas yang ditafsirnya[21]

D.  Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlili
1)   Ruang lingkup yang luas
Penafsiran dengan menggunakan metode ini, dikembangkan menurut keahlian para masing-masing mufasir. Contohnya, dalam ahli bahasa berpeluang untuk menafsirkan bahasa al-qur’an dari pemahaman kebahasaaan, seperti tarsir al-Nasafi karangan Abu al-Su’ud, ahli qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan titik tolak dalam penafsirannya. Begitu pula ahli tafsir dalam menafsirkan dari berbagai sudut pandang sesuai dengan keahliannya masing-masing. Akan tetapi kembali lagi dalm menafsirkannya sesuai dengan kaidah cara penafsiran yang berlaku.
2)   Memuat berbagai Macam Ide
Tafsir ini memuat berbagai macam ide dari para mufasir, dimana mufasir lebih mempunyai kebebasan dalam memajukan dan gagasan-gagasan baru dalam penafsiran al-qur’an[22].
Adapun kekurangan dari metode ini yaitu:
1)   Menjadikan petunjuk al-qur’an parsial
Bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa sekan-akan al-qur’an memberikan pedoman yang tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dengan penafsiran ayat-ayat lain yang sama dengannya. Ketidakmauan para mufasir untuk memperhatikan ayat-ayat yang lain disebut sebagai salah satu konsekuesi logis dari penafsiran yang menggunakan metode analitis, karena di dalam metode ini tidak ada keharusan bagi mufasir untuk membandingkan penafsiran suatu ayat dengan ayat yang lain sebagaimana yang diutamakan dalam tafsir dengan metode komparatif..

2)   Melahirkan penafsiran yang Subjektif
Di dalam metode analitis, para mufasir mengemukakan ide-ide dan pemikirannya, sehingga terkadang mufasir bahwa dia telah menafsirkan ayat al-qur’an secara subjektif, dan mustahil diantara mereka ada yang menafsirkan al-qur’an sesuai dengan hawa nafsunya tanpa menindahkan norma-norma yang berlaku. Sikap subjektif ini dikarenakan fanatiknya terhadap suatu madzhab.
Jadi, sikap subjektif para mufasir dalam metode ini, mendapat tempat yang luas bila dibandingkan metode lainnya. Dikarenakan sangat menonjolnya sikap subjektif mufasir inilah yang menjadikan metode ini menjadi lemah dan kurang representatif.

3)   Masuk pemikiran israiliat
Dikarenakan metode tahlili tidak membatasi dalam mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran masuk tidak terkecuali pemikiran israiliat. Sebelumnya kisah-kisah israiliat tidak ada persoalan, selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-qur’an. Namun setelah memasuki tafsir tahlili akan timbul negatifnya[23].
Kekurangan atau kelemahan dalam metode tahlili tidak berarti sesuatu yang negative, sehingga dalam pemikiran kita dilarang dalam menggunakan metode ini. Tidak demikian, namun ini akan menjadikan para ahli tafsir agar lebih berhati-hati dalam menafsirkan suatu ayat, sehingga tidak terjadi salah penafsiran.
  1. Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah
    •  kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari [w.310H],
    • Ma’alim  al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H],
    • Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan  tafsir  Ibn Katsir]  karangan  Ibn Katsir  [w.774H], 
    • al-Durr  al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H].
  2. Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra’y banyak sekali, antara lain:
    • Tafsir Lubāb al-ta’wīl fī ma‘ānī al-tanzīl karya Imam al-Khāzin (w.741 H
    • Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan  al-Baydhawi [w.691H],
    • al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari [w.538H],
    • ’Arais al-Bayan fi Haqaia al-Qur’an karangan al-Syirazi [w.606H],
    • al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al-Fakhr al-Razi [w.606H],
    • Madārik al-Tanzīl wa haqā’iq al-ta’wīl karya al-Nasafī (w.701 H)
    • al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an karangan Thanthawi Jauhari,
    • Irshād al-‘aql al-Salīm ilā mazāya al-Kitāb al-karīm karya Abū Sa‘ūd (w.982 H).
    • Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha [w.1935] dan lain-lain.
Jadi,  pola  penafsiran  yang  diterapkan  oleh  para  pengarang  kitab-kitab  tafsir di atas  terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara  komprehensif  dan menyeluruh,  baik  yang  berbentuk  al-ma’tsur maupun al-ra’y

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Metode analitis atau metode tahlili yaitu, menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.Pembagian metode tafsir tahlili, dibagi menjadi beberapa bagian seiring perkembangan zaman dan kebutuhan akan penjelasan suatu ayat di dalam al-qur’an, yaitu tafsir bi al-matstur, da nada yang menggunakan dasar penalaran atau pendapat yang disebut tafsir bi al-ra’yi, at-tafsir al-shufi,  tafsir al-fasafy, tafsir al-fiqhi,  tafsir al-‘ilmy, dan tafsir al-adaby al-ijtima’y.
Dalam menafsirkan suatu ayat para mufasir menggunakan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Adapun metode tahlili dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang akan menjadikan para ahli tafsir memiliki sikap kehati-hatian dalam menafsirkan suatu ayat agar tidak terjadi salah penafsiran.
Dalam perkembangan tafsir, metode tahlili telah menyumbangkan peran yang besar dalam andilnya perkembangan ilmu tafsir, di mana para ahli tafsir yang mampu menghasilkan karya-karya mereka.

B.  Saran
Penulis menyadari karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kitik dan saran guna melengkapi makalah ini, agar nantinya dalam pembuatan makalah-makalah ke depannya jauh lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna Khalil,
Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: Litera AntarNusa, 2012
Dr.Nashruddin Baidan,
Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
H.M. Quraish Shihab,
Membumikan Al-qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga,
Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005
Prof.Dr.H.Abuddin Nata M.A,
Studi Islam Komperhensif, Jakarta: Kenca Prenada Media Grup, 2011


[1] Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i MA, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal 241
[2] Ibid, hal 241
[3] Dr.nasruddin Baidan, Metodiologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal.31
[4] Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung : Tafakur, 2009), hal 103
[5] Prof. DR.H. Abudin Nata,M.A, Studi Islam Komperhesif, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.169
[6] Ibid, hal.169
[7] H.M. Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992), hal.84
[8] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Jakarta: Litera AntarNusa, 2012), hal.14-15
[9] Dr.Nashruddin Baiddan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,.........hal.41
[10] Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Pengantar  Studi Islam, (Yogyakarta: POKJA Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hal.71
[11] Ibid, hal.71-72
[12] Dr.Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,......hal.49
[13] Prof.DR.H.Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif,..........hal.173
[14] Ibid, hal.174
[15] Pokja UIN Sunan Kalijaga, Pengantar Studi Islam,........hal.73
[16] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’n,.........hal.24
[17] Pokja UIN Sunan Kalijaga, Penagntar Studi Islam,………..hal.74
[18] Ibid,……..hal.73
[19][16]Ibid,………hal.75
[20][17]Ibid,……hal.76
[21][18] Dr,Nshruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-qur’an,………hal.52
[22][19]Ibid,………..hal.54
[23] Ibid,……….hal.59-60

0 komentar: