Beberapa Konsep Dasar Ekonomi Makro dan Politik
Pertumbuhan Ekonomi.
“Economy
growth must look to the common good and an economy based on ethical foundations
must be preoccupied with the raising the well being of all sectors of society.”[1]
Pendahuluan
Ekonomi
sebagai praktik keseharian jauh telah ada sebelum ia menjadi sebuah disiplin
ilmu. Kegiatan ekonomi manusia sudah berlangsung berabad-abad sebagai upaya
kemakmuran oleh manusia. Dalam upaya menyejahterakan diri mereka, manusia
secara kontinyu berusaha memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas.
Ketidakseimbangan terjadi ketika alat kebutuhan untuk memuaskan keinginan
manusia tidak dapat disuplai secara maksimal karena sifat keterbatasannya. Di
sinilah yang menjadi titik tekan masalah ekonomi.
Terlepas
polemik asal usul ekonomi sebagai sebuah disiplin ilmu baik dari belenggu
ideologi keagamaan maupun non keagamaan, pada kenyataannya ilmu ekonomi eksis
dan berkembang pesat dalam ranah keilmuan manusia. Perkembangannya tidak
terlepas dari buah pemikiran para penggiat ilmu ekonomi, pelaku ekonomi dan
peran kuasa pemerintah di dalamnya. Dinamika keilmuan ekonomi sangatlah luas
dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mempelajari dan memahaminya,
terlebih bagi penulis yang notebene bukan penggiat ilmu ini. Tulisan ini sangat
rentan terhadap kritik dan merupakan usaha terbatas untuk mematuhi konsensus
pemangku kesepakatan kelompok kajian ekonomi. Disorientasi tulisan terhadap
tema sandaran; Perspektif Ilmu Ekonomi, sebagai output pun akan nampak dari faktor
produksi yang sangat minim; waktu, modal dan tempat (tanah). Kecenderungan isi
tulisan pun bukan cerminan dari sebuah kecondongan penulis terhadap pendekatan
tertentu, lebih pada faktor praksis saja.
Ekonomi
Makro
Pada umumnya
ilmu ekonomi dibagi pada 2 ranah keilmuan; ekonomi makro dan ekonomi mikro.
Ekonomi makro mempelajari penggunaan sumber daya atau faktor produksi yang
terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas secara agregat. Sedangkan
ekonomi mikro fokus terhadap penggunaan sumber daya atau faktor produksi yang
terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas atas dasar kebutuhan
individu. Perilaku dalam ekonomi ini difungsikan untuk memenuhi faktor produksi
yang ada. Perbedaan di antara keduanya terletak pada siapa economic agent yang
memutuskan dan mengarahkan perilaku ekonomi tersebut. Ekonomi makro berkaitan
erat dengan kinerja ekonomi suatu Negara dalam hal ini pemerintah. Sedangkan
ekonomi mikro keputusan dibuat oleh individu. Yang dimaksud dengan individu di
sini dapat berupa pasar, perusahaan dan rumah tangga.[2]
Ada tiga
ukuran dalam penilaian keberhasilan suatu Negara dalam mengelola ekonominya
secara makro: keluaran, pengangguran dan stabilitas harga. Keluaran atau output
berkaitan dengan produksi oleh Negara dalam kurun waktu tertentu, misalnya
satu tahun. Nominal vs riil, nilai vs pertumbuhan,[3] pertumbuhan vs pemerataan
dan PDB aktual vs PDB potensial merupakan beberapa ukuran output nasional
dari suatu Negara dan sering dalam berupa Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross
Domestic Bruto (GDP) yang notabene adalah nilai dari semua produk akhir,
baik barang dan jasa yang diukur dalam mata uang.[4]
Sekedar
contoh, total nilai keluaran yang diukur dengan nilai uang pada saat itu
disebut dengan PDB nominal, sedangkan PDB riil diukur dengan nilai mata uang
konstan. Hal terakhir terkait dengan patokan nilai rupiah (sebagai contoh) di
tanggal yang terlebih dahulu telah ditentukan. Fungsi penggunan mata uang
konstan bertujuan untuk melihat perubahan PDB dari waktu ke waktu yang terjadi
secara riil. Selisih jumlah nilai antara keduanya berfungsi untuk mengetahui
perbedaan aktifitas ekonomi secara riil dan efek inflasi atau kenaikan
harga.[5]
Pembahasan
kedua PDB di atas merujuk pada pengertian nilai mata uang, Untuk mengetahui perkembangan
PDB dari waktu ke waktu dikenallah istilah pertumbuhan PDB yang dihitung dengan
rumus PDB riil di tahun kedua dikurangi PDB riil tahun sebelumnya serta dikali
100% lalu dibagi PDB riil tahun sebelumnya, maka akan terlihat hasil
pertumbuhan PDB sebuah Negara. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat tidak berarti
itu bagus bagi suatu Negara apabila hanya segelintir orang saja yang
menikmatinya. Oleh karena itu, pemerataan menjadi faktor penting dengan
mengukur berapa porsi PDB yang dinikmati 20% penduduk termiskin suatu Negara
dan berapa porsi PDB yang dinikmati oleh 20% penduduk terkaya. Apabila kedua
angka sama, itu menunjukkan adanya pemerataan ekonomi dalam suatu Negara.[6]
Pemerataan
biasanya dikaitkan pada dua hal, yaitu: pendapatan dan asset atau kekayaan.
Konsep ideal pemerataan apabila seorang individu memiliki pendapatan dan
kekayaan yang sama dengan individu lain. Di Inggris dan Amerika, pemerataan
pendapatan jauh lebih baik dibandingkan dengan pemerataan kekayaan. Sedangkan
di Negara berkembang cenderung pada kondisi yang sama, pendapatan dan kekayaan
tidak merata. Hubungan keduanya di Negara berkembang sangat erat. Individu yang
semakin tinggi tingkat kekayaannya cenderung semakin tinggi pula pendapatannya.
Walhasil, kebijakan keduanya sama-sama penting.[7]
PDB aktual
merupakan hasil konkret penghasilan suatu Negara. Meskipun dengan jumlah
tertera di atas kertas tidak berarti telah menunjukkan PDB secara maksimal yang
dapat dihasilkan oleh suatu Negara. Hasil maksimum inilah yang disebut dengan
PDB potensial, merupakan tingkat keluaran maksimum yang dapat dihasilkan secara
berkelanjutan dan sangat tergantung pada faktor produksi yang efisien dan
teknologi yang produktif. Ukuran penggunaan yang sederhana adalah dengan
memperhatikan tingkat penggunaan buruh atau tingkat pengangguran. Bila tidak
ada pengangguran, maka tidak ada penambahan waktu kerja, berkonsekuensi pula
pada tidak ada peningkatan PDB. Ukuran adanya pengangguran sebesar 5% dari
total populasi Negara sudah dianggap tidak ada pengangguran (full employment).
[8]
Tingkat
pengangguran menjadi ukuran kedua ekonomi, tinggi rendah angkanya mencerminkan
sukses atau kegagalan dalam pembangunan dan tingginya pengangguran menyebabkan
keluaran ekonomi tidak mencapai tingkat maksimum atau tingkat potensial. Tidak
adanya sumber pendapatan (income) untuk kehidupan akan berdampak pada
munculnya permasalahan psikologis dan sosial. Ukruan selanjutnya dari
keberhasilan ekonomi makro adalah stabilitas harga. Argumen bahwa ekonomi yang
baik apabila tidak ada kenaikan harga, atau inflasi sama dengan nol. Hal ini
tidak sepenuhnya benar, terkadang dalam kasus tertentu mendorong perkembangan
ekonomi seperti infalsi sebesar 3% yang pernah dialami bangsa Indonesia dan
belum pernah terjadi semenjak kemerdekaan. Inflasi rendah secara umum masih
bisa diterima Di satu sisi, meningkatnya harga akan menggenjot perusahaan atas
produksi yang menghasilkan keuntungan bagi perusahaan karena peningkatan biaya
produksi tidak secepat kenaikan harga, bertambahnya harga produk juga akan
memberikan keuntungan bagi perusahaan. Di sisi lain, inflasi rendah menyebabkan
daya beli masyarakat juga menurun walaupun tidak signifikan.[9]
Politik
Pertumbuhan Ekonomi
Istilah
politik pertumbuhan ekonomi memang bukan hal sering kita dengar atau kita lihat
di Indonesia, padahal terma ini menjadi sangat penting dalam dunia akademisi
dan praktisi ekonomi di luar negeri. Jika anda mencari di “mbah” google, hanya
kalimat pertumbuhan ekonomi dan ekonomi politik yang menghiasi layar monitor
komputer atau laptop anda. Meskipun ada satu dua tentang teori pertumbuhan,
namun unsur politik hanya menjadi sisipan struktur pembahasannya. Apakah ini
petanda dari sebuah skema penjajahan diskursus ekonomi di Indonesia, masih
perlu penelitian untuk pertanyaan tersebut. Mungkin juga, karena keterbatasan
penulis, memang ada karya yang mengupas habis pertarungan ideologi dalam dunia
perekonomian di Indonesia. Walhasil, banyak penelitian dan tulisan yang kita
bisa akses di Internet soal politik pertumbuhan ekonomi di pelbagai Negara,
mulai dari studi politik pertumbuhan ekonomi di era the great depression tahun
1929, masa kebangkitannya di Amerika dan paska perang dunia ke-2, hingga
tulisan kontemporer mengenai pertumbuhan ekonomi drastis di India dan China.
Awalnya, ekonomi
politik merupakan studi tentang kondisi di mana produksi atau konsumsi yang
dalam parameter terbatas dan diselenggarakan oleh bangsa dan negara. Dengan hal
ini, ekonomi politik memperluas penekanan makna kata ekonomi, yang berasal dari
bahasa Yunani oikos berarti "rumah" dan nomos;
"hukum" atau "order"; sehingga ekonomi politik
dimaksudkan untuk mengungkapkan hukum-hukum produksi kekayaan di tingkat negara
bagian. Kata politique économie (diterjemahkan dalam bahasa Inggris
sebagai political economy) pertama kali muncul di Perancis pada tahun
1615 dalam buku terkenal karangan Antoine de Montchrétien: Traité politique
de l'Economie. Physiokrat Perancis, Adam Smith, David Ricardo dan filsuf
Jerman Karl Marx adalah beberapa eksponen ekonomi politik. Pada 1805, Thomas
Malthus menjadi profesor pertama Inggris di bidang ekonomi politik di East
India Company College, Haileybury, Hertfordshire. Pada tahun 1763, Guru besar
pertama di dunia dalam ekonomi politik diberikan di Universitas Wina, Austria
kepada Joseph von Sonnenfels sekaligus dinpbatkan sebagai profesor tetap
pertama.[10]
Ekonomi
politik merupakan istilah untuk mempelajari produksi, membeli dan menjual, dan
hubungannya dengan hukum, adat, dan pemerintah, serta distribusi pendapatan
nasional dan kekayaan, termasuk melalui proses anggaran. Politik perekonomian
berasal dari filsafat moral. Yang berkembang di abad ke-18 sebagai studi
tentang ekonomi Negara dan kebijakan, makanya disebut ekonomi politik. Pada
akhir abad kesembilan belas, istilah 'ekonomi' datang untuk menggantikan
'ekonomi politik', bertepatan dengan publikasi dari sebuah buku berpengaruh
berjudul Principles of Economy oleh Alfred Marshall pada tahun 1890.
William Stanley Jevons, seorang penganjur metode matematika diterapkan pada
ekonomi, menganjurkan kata 'ekonomi' sebagai ringkasan dengan harapan istilah
tersebut menjadi "terma yang diakui sebagai ilmu pengetahuan," di
dalam bukunya “The Theory of Political Economy.”[11]
Pendekatan
kontemporer memandang ekonomi politik pada studi interdisipliner pada ekonomi,
hukum, dan ilmu politik dalam menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga politik,
lingkungan politik, dan sistem-kapitalis ekonomi, sosialis,
dicampur-mempengaruhi satu sama lain. Topik tradisionalnya meliputi pengaruh
pemilu pada pilihan kebijakan ekonomi, penentu hasil pemilu, siklus bisnis
politik, independensi bank sentral, konflik redistributif dalam kebijakan
fiskal, dan politik reformasi tertunda di negara berkembang dan defisit
berlebihan. Dari tahun 1990-an, dieksplorasi studi diperluas seperti pada
asal-usul dan laju perubahan lembaga-lembaga politik, dan peran budaya dalam
menjelaskan capaian ekonomi dan pertumbuhan. Secara lebih sempit ditafsirkan
sebagai analisis kebijakan publik seperti monopoli, perlindungan pasar dan
korupsi kelembagaan.[12]
Di dalam
bukunya, The Politics of Economic Growth, in Postwar America, Robert M.
Collins menjelaskan bagaimana pertumbuhan ekonomi menjadi pusat dan faktor
penentu kebijakan publik pemerintah Amerika setengah abad paska perang dunia
ke-2. Di era The Great Depression di Amerika, ada tiga kekuatan yang bertarung
untuk penentuan arah pertumbuhan ekonomi amerika serikat: 1. Kelompok agraria
dari selatan yang mengadakan symposium bertemakan “I’ll Take My Stand: The
South and the Agrarian Tradition” dan membahas pertumbuhan, industrialism dan
materialism, lalu menolak kepercayaan terhadap dengan mesin besar akan
menghasilkan penghasilan yang besar pula. Mereka ini dikategorikan sebagai
kelompok konservatip dan dikenal sebagai gerilyawan agrarian dan menganggap
konsep growth dan moreness adalah ide gila. Mereka berpegang
teguh pada prinsip “tidak akan pernah mengakui bahwa tugas manusia hanya untuk
meningkatkan produksi materi saja dan bahwa tingkat derajat kebudayaan diukur
dengan volume produksi materi,” namun,pada akirnya mereka tersingkir.[13]
Kelompok
kedua terdapat pada gerakan teknokrasi berasal dari tumbuh dari ide-ide Howard
Scott, seorang insinyur eksentrik dari Greenwich Village. Scott pernah bertugas
untuk sementara waktu sebagai konsultan untuk Radical International Worker di
bawah naungan Serikat Pekerja Dunia. Dia percaya bahwa sistem artifisial
kapitalisme telah menciptakan ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi,
akibatnya, kemajuan teknologi dan peningkatan produksi
hanya
menghasilkan pengangguran dan hutang saja. Mereka beranggapan bahwa
untuk
menggantikan sistem harga lama dengan yang baru berdasarkan energi, daripada
emas. Meskipun sempat mendapatkan sorotan dari politisi, pelaku bisnis dan
gangster, bahkan sempat diangankan sebagai “langkah pertama revolusi filsafat
di Amerika.” Kehadirannya yang cepat seiring dengan lenyapnya.[14]
Kelompok
ketiga adalah Mississippi Industrial Commission yang mengenalkan program
“Balance Agriculture with Industry” yang bererwenang penggunaan obligasi daerah
untuk membangun pabrik bagi perusahaan yang berkomitmen untuk tenaga kerja
lokal dan memberikan jaminan gaji. The Mississipi Program perlahan-lahan
menampakkan hasil dan walaupun kemudian menghasilkan upah rendah, pekerjaan
non-union di tekstil padat karya dan pakaian,gagasan itu menyebar ke negara
tetangga dan kemudian, setelah perang, mendapat tempat di hati Negara-Negara
bagian selatan sebagai negara terpaksa ke pelbagai peningkatan subsidi public
untuk mendapatkan perkembangan yang signifikan.[15]
Dinamika
politik pertumbuhan ekonomi terekam dengan jelas dalam studi ini, meskipun
dengan digelontorkannya kebijakan New Deal of Economics yang berkesan
“hati-hati,” aspek pertumbuhan tetap menjadi orientasi sebagai bagian integral
sistem kapitalis yang dianut Amerika Serikat. Pelbagai kebijakan moneter
diberlakukan untuk secara marathon dan pertumbuhan ekonomi digenjot dengan
berdirinya beberapa lembaga, baik keuangan maupun institusi bisnis sehingga
dalam kurun waktu satu tahun saja tingkat pertumbuhan ekonomi di tahun 1930
sudah hampir sama dengan tahun 1929, di saat depresi ekonomi mulai.
Di satu
sisi, kebijakan ekonomi memberikan harapan bagi perkembangan perekonomian
Amerika. Akan tetapi, di sisi lain, banyak suara pesimistik menghiasi kehidupan
rakyat Amerika pada umumnya. Hal ini bisa terekam dari ucapan para tokoh dari
dua sudut pandang terhadap masa depan ekonomi Amerika; Herbert Hoover dan
Franklin D. Roosevelt. Herbert menyatakan “saya tidak takut akan masa depan
negeri ini, negeri yang cerah dengan harapan-harapan,” sedangkan Franklin
berujar “bagi saya kemungkinan bangunan fisik ekonomi tidak akan berekspansi
sehebat masa lalu, kita bisa saja membangun lebih banyak pabrik, tapi faktanya
kita mempunyai lebih dari cukup dari kebutuhan domestik.”[16]
New Deal of
Economy berorientasi pada pemulihan, keseimbangan dan ketahanan ekonomi dan
berkarakter stagnan dan ekonomi berkekurangan. Ketika pendekatan rem laju
ekonomi sudah berjalan dan kondisi ekonomi mulai sedikit stabil, muncullah
doronga-dorongan untuk merubah arah kegiatan ekonomi yang lebih liberal. Ini
dilakukan oleh partai republic yang menganggap kebijakan Franklin yang notabene
dari partai democrat tidak lebih hanya sekedar public investment bukan
karakter Negara kapitalis. Program-program seperti National Recovery
Administration (NRA), Agriculture Adjustment Administration (AAA),
Reconstruction Finance Cooperation (RFC) mulai mendapat kritik tajam dari lawan
politik Franklin. Malah ia menambah investasi publik di pengembangan tanaga
listrik, maka muncullah perusahaan seperti Tennessee Valley Authority (TVA) dan
Rural Electrification Administration guna menyokong usaha ekonomi ke wilayah
selatan.[17]
Pada tahun
1938, muncul partai baru yang didirikan berdasarkan filosofi pertambahan
produksi oleh Phil La Follette, seorang gubernur Wisconsin. Lambang X di
bendera partainya merepresentasikan multiplikasi kekayaan bukannya
pengurangan.[18] Kegelisahan para expansionist bertambah ketika Franklin
memutuskan komitmennya kepada kebijakan 1 per 3 rakyatnya yang serba
kekurangan; sandang, pangan dan papan meskipun akhirnya ditolak oleh kongres.
Kebijakan-kebijakan dan identitias a la state cartelism dan state capitalism
inilah yang oleh penulis sendiri sebut sangat ambigu. Di Penghujung akhir
1930an hingga meletusnya perang dunia ke-2, ekonomi Amerika kembali
berorientasi ekspansi dan kapitalistik dan kebijakan New Deal dianggap sebagai
dasar ekspansi ekonomi Amerika di era perang dunia ke-2.
Penutup
Ada beberapa
catatan pribadi penulis dapat dari usaha penulisan, pemahaman dan refleksi:
1.
Pengelolalaan ekonomi makro yang baik suatu Negara sangatlah penting terlepas
dari orientasi ideologis ekonomi dan dampak tertentu dari perspektif ekonomi
tertentu.
2. Sejarah
mencatat corak ekonomi Indonesia yang dinamis merupakan bukti bahwa peran
politik sangat berpengaruh dalam menentukan arah perekonomian Negara.
3. Peran
akademisi ekonomi sangatlah kurang dalam membahas secara mendalam studi politik
pertumbuhan ekonomi di Indonesia, terlepas dari indikasi adanya setting
bangunan keilmuan ekonomi di Indonesia.
4. Untuk
Negara sekapitalis Amerika pun mampu dan berani “menyeleweng” dari dogma
ekonomi mereka ketika sebuah situasi darurat memaksa Negara intervensi hingga
jauh ke dalam urusan ekonomi bahkan hingga sekarangpun Amerika masih melakukan
beberapa proteksi terhadap produk domestik mereka.
5. Stabilnya
iklim politik sangatlah penting ketika perbaikan dari reses ekonomi menjadi
focus utama dimana selama masa the great depression, hampir seluruh kebijakan
pemerintah dalam mengurai krisis ekonomi mendapat persetujuan dari kongres.
Tinjauan
Pustaka
Collins,
Robert M. (200). The Politics of Economic Growth, in Postwar America., Oxford:
Oxford University Press.
Djohanputro,
Bramantyo MBA, Phd. Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, (2005), Jakarta:
Penerbit PPM.
Wikipedia, Political
Economy,
http://en.wikipedia.org/wiki/Political_economy#History_of_the_term, di akses pada 22 Januari 2011,
pukul 01.30.
Youtube,http://www.youtube.com/watch?v=gLKik7p58Ak&nofeather=True, diakses pada 22 Januari, pukul
01.00 WIB.
[1] Salah
satu kutipan ucapan Benedict XVI ketika menerima duta besar Korea Selatan, Han
Hong-Soon, untuk Negara Vatikan, http://www.youtube.com/watch?v=gLKik7p58Ak&nofeather=True, diakses pada 22 Januari, pukul
01.00 WIB.
[2]
Bramantyo Djohanputro, MBA, Phd., Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro, (Jakarta:
Cetakan 1, Penerbit PPM), 2005, hal. 11.
[3] Selain
mendefinisikan terma ini dengan PDB baik yang nominal maupun riil, para ekonom
menggunakannya untuk membedakan dengan istilah ekspansi ekonomi (economic
expansion) yang berarti meningkatnya kapasitas yang ada, Sedangkan
pertumbuhan melibatkan meningkatnya kapasitas produksi ekonomi itu sendiri.
Secara umum pertumbuhan diartikan peningkatan dalam semua hal; aktifitas
ekonomi, meningkatnya produksi dan meningkatnya konsumsi. Selain itu,
definisinya berkonotasi dengan hal teknologi, industrialism, matelialisme dan
konsumerisme. Robert M. Collins, The Politics of Economic Growth, in Postwar
America, (Oxford University Press), 2000, hal. 1. Luasnya definisi
inilah yang diindikasikan penyebab The great depression di Amerika berujung
kebijakan the new deal of economic dan menjadi dasar terlibatnya Amerika di
Perang dunia ke-2. Ibid, hal 9.
[4] Prinsip-Prinsip
Ekonomi Makro, hal.13-14
[5] Ibid,
hal 14,
[6] Ibid
17.
[7] Ibid
hal, 17-18
[8] Ibid,
18.
[9] Robert
M. Collins, The Politics of Economic Growth, in Postwar America, (Oxford
University Press), 2000, hal. 19-20.
[10]
Wikipedia, Political Economy, http://en.wikipedia.org/wiki/Political_economy#History_of_the_term, di akses pada 22 Januari 2011,
pukul 01.30.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] The
Politics of Economic Growth, in Postwar America, 2000, hal. 1-2.
[14]Ibid
hal. 3.
[15]Ibid,
2-3.
[16] Ibid
hal 4.
[17] Ibid,
hal. 8.
[18] Ibid.
hal. 8-9
Corat-coret
persyaratan diskusi di Forum Diskusi Ekonomi Ciputat
0 komentar:
Posting Komentar