1. Tanggung jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي
عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ
عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى
بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى
مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Abdullah bin Umar r.a berkata bahwa Rasulullah
saw bersabda : “Kalian semua adalah pemimpin (pemelihara) dan akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta
pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan
ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah
tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang
pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya
juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan
akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal-hal yang dipimpinnya.”
(Dikeluarkan oleh Imam
Bukhari dalam kitab “Budak”, Bab: “Dibencinya memperpanjang perbudakan.”)
Penjelasan:
Pada dasarnya, hadis di
atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadis ini
dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab.
Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya,
sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya
terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya,
seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung
jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya,
dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang
dipimpinnya, dst.
Akan tetapi, tanggung
jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu
selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin.
Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih
berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang
dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan
kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat,
memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya,
seorang penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang
gembalanya.
Tapi cerita gembala
hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan binatang, sehingga
menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang. Anugerah akal budi
yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi manusia
untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan hidupnya kepada
penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang disampaikan oleh hadis di atas
adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas
kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti
bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa
mengantungkan hidupnya kepada orang lain
Dengan demikian, karena
hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung jawab adalah
kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan anak-anaknya
tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya tidak
dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab yang sebenarnya.
Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji prt (pekerja rumah
tangga) di bawah standar ump (upah minimu provinsi), maka majikan
tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang
pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi
“pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari
jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa
dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus
diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum
miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab
itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka
tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan.
3.
BATAS KETAATAN KEPADA PEMIMPIN
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا
أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ
فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Artinya:
Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw
: seorang muslim wajib mendengar dan ta’at pada pemerintahannya, dalam
apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah ma’siyat. Maka
apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib ta’at.”(H.R. Muslim)
(Dikeluarkan oleh Imam
Bukhari, dalam (93) kitab: “Al-Ahkam,” (4) bab: “Mendengarkan dan menaati
pemimpin selagi tidak memerintahkan untuk berbuat dosa.”)
Penjelasan:
Hadis di atas
menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin
tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib taat
dan patuh dan ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh
berontak atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap
pemimpin itu adalah selama pemimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat
maksiat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud dengan maksiat itu?
Secara bahasa maksiat berarti
durhaka atau tidak taat kepada Allah. Namun secara istilah, makna maksiat cukup
beragam. Karenanya, adalah salah kaprah bila kita membatasi makna maksiat
hanya pada perkara-perkara semacam pornografi dan pornoaksi, seperti yang
dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam dalam melakukan
pengrusakan tempat hiburan dengan dalih menghapus kemaksiatan.
Padahal kemaksiatan
bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan tetapi di kantor-kantor pemerintah
justru lebih banyak kemaksiatan dalam bentuknya yang samar namun cukup
memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor departemen, di ruang-ruang
sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid sekalipun, kita bisa menjumpai
kemaksiatan. Namun yang dimaksud kemaksiatan di sini tentunya bukan penari
telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan, melainkan tindakan-tindakan
yang mendurhakai Allah yang dipertontonkan oleh para pemimpin kita, wakil
rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita. Bukankah korupsi, kolusi dan semua hal
yang mengarah pada ketidakjujuran dalam memimpin negeri ini serta mengeluarkan
kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil juga termasuk maksiat. Padahal
sudah jelas bahwa salah satu ciri agama Islam adalah kebersamaan yang harus
mewarnai seluruh aktivitas setiap muslim.[1]
Bukan hanya itu, seorang ulama yang pandai berkhutbah namun dia menjadi jurkam
dari pemimpin yang korup juga telah masuk dalam kategori berbuat maksiat.
Bahkan tindakan yang tidak melindungi anak-anak terlantar, janda-janda tua dan
kaum miskin papa juga termasuk maksiat karena semua itu merupakan perintah Allah,
dan bagi siapa yang tidak melaksanakan perintah Allah maka dia telah
mendurhakai Allah, dan orang yang durhaka berarti berbuat maksiat kepada Allah.
Dengan demikian,
kemaksiatan yang tidak perlu dipatuhi seorang rakyat terhadap pemimpinnya
adalah kemaksiatan dengan pengertiannya yang cukup luas (mendurhakai Allah)
bukan saja kemaksiatan yang berarti sempit (seperti pornoaksi dan pornografi).
Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita simpulkan bahwa apabila pemimpin
kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip kejujuran serta tidak lagi
berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan kepatuhan terhadap
pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena pemimpin itu sendiri
sudah termasuk kemaksiatan yang perlu untuk di hapuskan di muka bumi ini.
Kedudukan seorang
pemimpin sangat tinggi dalam islam, sehingga ketaatan kepada mereka pun
disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah
dan Rasu-Nya, sebagaimana firman-Nya:
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Sesuai dengan ayat di atas, Rasulullah SAW.
bersabda:
Artinya:
“Abu
Hurairah r.a. berkata, Rasulullah telah bersabda: Barang siapa yang taat
kepadaku, berarti taat kepada Allah, dan barang siapa yang melanggar padaku
berarti melanggar kepada Allah. Dan siapa yang taat pada pemimpin berarti
berarti taat kepadaku, dan barang siapa yang maksiat kepada pemimpin berarti
maksiat kepadaku.”(H.R.
Bukhori dan Muslim)
Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus
ditaati walaupun seorang budak hitam umpamanya. Segala perintah dan
perkataannya harus ditaati oleh semua bawahannya, sebagaimana dinyatakan dalam
hadits:
Artinya:
“Anas
r.a. berkata, Rasulullah SAW. telah bersabda, “Dengarlah dan taatilah meskipun
yang terangkat dalam pemerintahanmu adalah seorang budak Habasyah yang
kepalanya bagaikan kismin.”(H.R.
Bukhari)
Namun demikian, bukan berarti ketaatan yang tanpa
batas karena kewajiban taat kepada seorang pemimpin hanyalah dalam hal-hal yang
tidak berhubungan dengan kemaksiatan (dosa), sebagaimana dijelaskan dalam hal
pertama. Apabila pemimpin memerintahkan bawahannya untuk berbuat dosa, perintah
itu tidaklah wajib ditaati, bahkan bawahannya harus mengingatkannya.
Dalam kehidupan nyata, tidak jarang terdapat seorang
pemimpin menyalahgunakan kekuasaan guna mencapai keinginan dan kepuasan hawa
nafsunya. Tidak jarang pula, untuk menggapai cita-citanya tersebut, dia
memerintahkan kepada para bawahannya (rakyatnya) untuk melakukan
perbuatan-perbuatannya yang sebenarnya dilarang oleh agama. Terhadap perintah
demikian, Islam melarang untuk menaatinya.
Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW.
pernah memerintahkan seorang bekas budak untuk menggunakan kulit kambing yang
telah mati, tetapi budak tersebut tidak menuruti perintah Rasulullah SAW. Ia
beranggapan bahwa menggunakan kulit kambing adalah haram sebagaimana diharamkan
memakannya. Nabi kemudian menjelaskan kepadanya bahwa mempergunakan kulit
binatang yang mati tidak diharamkan.
Sikap bekas budak tersebut menunjukkan bahwa ia
tidak mau taat kepada pemimpin sekalipun kepada Rasulullah SAW., kalau ia
menganggap bahwa perintah tersebut untuk melakukan perbuatan maksiat. Ia
menganggap bahwa Rasulullh memerintahkannya untuk berbuat maksiat dengan
menyuruhnya mempergunkan kulit binatang yang mati.
Begitu pula hadis yang kedua, para sahabat tidak mau
menurut perintah pemimpinnya waktu mereka diperintahkan masuk ke dalam api,
karena perintah seperti itu mereka anggap tidak benar. Ternyata perbuatan para
sahabat yang menentang perintah pimpinan mereka tersebut dibenarkan Rasulullah.
1 komentar:
Memahami Islam tidak cukup hanya lewat teks, tapi juga harus memahami konteks. Keduanya harus dipahami dan tidak bisa ditinggalkan. Kalau anda melulu melihat teks maka anda akan seperti orang yang hidup dalam goa. Kalau anda hanya berpegang pada konteks dan melupakan teks maka anda akan seperti anak panah yang lepas dari busurnya tanpa sasaran arah yang jelas. Sebaik-baik urusan itu memahami teks sesuai konteksnya.
http://bogotabb.blogspot.co.id/
https://www.kiblat.net/2014/11/19/bilamana-berhukum-dengan-selain-hukum-allah-dianggap-kufur-akbar/
Posting Komentar