Jumat, 19 Desember 2014

Hadist Batas Ketaatan

1. Tanggung jawab  seorang pemimpin


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Abdullah bin Umar r.a berkata bahwa Rasulullah saw bersabda : “Kalian semua adalah pemimpin (pemelihara) dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban  perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal-hal yang dipimpinnya.”
(Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “Budak”, Bab: “Dibencinya memperpanjang perbudakan.”)

Penjelasan:
Pada dasarnya, hadis di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadis ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya, dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya, dst.

Akan tetapi, tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Melainkan lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin. Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan kata ra-‘in berarti pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi makan dan mencarikan tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang gembalanya.

Tapi cerita gembala hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan binatang, sehingga menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang. Anugerah akal budi yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi manusia untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan hidupnya kepada penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang disampaikan oleh hadis di atas adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti bertanggung jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa mengantungkan hidupnya kepada orang lain

Dengan demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab yang sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji prt (pekerja rumah tangga)  di bawah standar ump (upah minimu provinsi), maka majikan tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi “pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa dikatakan telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan.

3. BATAS KETAATAN KEPADA PEMIMPIN
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ                     

Artinya:
Ibn umar r.a berkata : bersabda nabi saw : seorang muslim wajib mendengar dan  ta’at pada pemerintahannya, dalam apa yang disetujui atau tidak disetujui, kecuali jika diperintah ma’siyat. Maka apabila disuruh ma’siyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib ta’at.”(H.R. Muslim)
(Dikeluarkan oleh Imam Bukhari, dalam (93) kitab: “Al-Ahkam,” (4) bab: “Mendengarkan dan menaati pemimpin selagi tidak memerintahkan untuk berbuat dosa.”)

Penjelasan:
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib taat dan patuh dan ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh berontak atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap pemimpin itu adalah selama pemimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat maksiat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud dengan maksiat itu?

Secara bahasa maksiat berarti durhaka atau tidak taat kepada Allah. Namun secara istilah, makna maksiat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah bila kita membatasi makna maksiat  hanya pada perkara-perkara semacam pornografi dan pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam dalam melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan dalih menghapus kemaksiatan.

Padahal kemaksiatan bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan tetapi di kantor-kantor pemerintah justru lebih banyak kemaksiatan dalam bentuknya yang samar namun cukup memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor departemen, di ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid sekalipun, kita bisa menjumpai kemaksiatan. Namun yang dimaksud kemaksiatan di sini tentunya bukan penari telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan, melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai Allah yang dipertontonkan oleh para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita. Bukankah korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada ketidakjujuran dalam memimpin negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada  rakyat kecil juga termasuk maksiat. Padahal sudah jelas bahwa salah satu ciri agama Islam adalah kebersamaan yang harus mewarnai seluruh aktivitas setiap muslim.[1] Bukan hanya itu, seorang ulama yang pandai berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari pemimpin yang korup juga telah masuk dalam kategori berbuat maksiat.  Bahkan tindakan yang tidak melindungi anak-anak terlantar, janda-janda tua dan kaum miskin papa juga termasuk maksiat karena semua itu merupakan perintah Allah, dan bagi siapa yang tidak melaksanakan perintah Allah maka dia telah mendurhakai Allah, dan orang yang durhaka berarti berbuat maksiat kepada Allah. 

Dengan demikian, kemaksiatan yang tidak perlu dipatuhi seorang rakyat terhadap pemimpinnya adalah kemaksiatan dengan pengertiannya yang cukup luas (mendurhakai Allah) bukan saja kemaksiatan yang berarti sempit (seperti pornoaksi dan pornografi). Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita simpulkan bahwa apabila pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip kejujuran serta tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena pemimpin itu sendiri sudah termasuk kemaksiatan yang perlu untuk di hapuskan di muka bumi ini.

Kedudukan seorang pemimpin sangat tinggi dalam islam, sehingga ketaatan kepada mereka pun disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah  dan Rasu-Nya, sebagaimana firman-Nya:


59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Sesuai dengan ayat di atas, Rasulullah SAW. bersabda:

Artinya:
“Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah telah bersabda: Barang siapa yang taat kepadaku, berarti taat kepada Allah, dan barang siapa yang melanggar padaku berarti melanggar kepada Allah. Dan siapa yang taat pada pemimpin berarti berarti taat kepadaku, dan barang siapa yang maksiat kepada pemimpin berarti maksiat kepadaku.”(H.R. Bukhori dan Muslim)

Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus ditaati walaupun seorang budak hitam umpamanya. Segala perintah dan perkataannya harus ditaati oleh semua bawahannya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits:

Artinya:
“Anas r.a. berkata, Rasulullah SAW. telah bersabda, “Dengarlah dan taatilah meskipun yang terangkat dalam pemerintahanmu adalah seorang budak Habasyah yang kepalanya bagaikan kismin.”(H.R. Bukhari)

Namun demikian, bukan berarti ketaatan yang tanpa batas karena kewajiban taat kepada seorang pemimpin hanyalah dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan kemaksiatan (dosa), sebagaimana dijelaskan dalam hal pertama. Apabila pemimpin memerintahkan bawahannya untuk berbuat dosa, perintah itu tidaklah wajib ditaati, bahkan bawahannya harus mengingatkannya.
Dalam kehidupan nyata, tidak jarang terdapat seorang pemimpin menyalahgunakan kekuasaan guna mencapai keinginan dan kepuasan hawa nafsunya. Tidak jarang pula, untuk menggapai cita-citanya tersebut, dia memerintahkan kepada para bawahannya (rakyatnya) untuk melakukan perbuatan-perbuatannya yang sebenarnya dilarang oleh agama. Terhadap perintah demikian, Islam melarang untuk menaatinya.

Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW. pernah memerintahkan seorang bekas budak untuk menggunakan kulit kambing yang telah mati, tetapi budak tersebut tidak menuruti perintah Rasulullah SAW. Ia beranggapan bahwa menggunakan kulit kambing adalah haram sebagaimana diharamkan memakannya. Nabi kemudian menjelaskan kepadanya bahwa mempergunakan kulit binatang yang mati tidak diharamkan.

Sikap bekas budak tersebut menunjukkan bahwa ia tidak mau taat kepada pemimpin sekalipun kepada Rasulullah SAW., kalau ia menganggap bahwa perintah tersebut untuk melakukan perbuatan maksiat. Ia menganggap bahwa Rasulullh memerintahkannya untuk berbuat maksiat dengan menyuruhnya mempergunkan kulit binatang yang mati.

Begitu pula hadis yang kedua, para sahabat tidak mau menurut perintah pemimpinnya waktu mereka diperintahkan masuk ke dalam api, karena perintah seperti itu mereka anggap tidak benar. Ternyata perbuatan para sahabat yang menentang perintah pimpinan mereka tersebut dibenarkan Rasulullah.




[1] Quraish Shihab, Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 239

1 komentar:

Aisyah M.Yusuf mengatakan...


Memahami Islam tidak cukup hanya lewat teks, tapi juga harus memahami konteks. Keduanya harus dipahami dan tidak bisa ditinggalkan. Kalau anda melulu melihat teks maka anda akan seperti orang yang hidup dalam goa. Kalau anda hanya berpegang pada konteks dan melupakan teks maka anda akan seperti anak panah yang lepas dari busurnya tanpa sasaran arah yang jelas. Sebaik-baik urusan itu memahami teks sesuai konteksnya.
http://bogotabb.blogspot.co.id/
https://www.kiblat.net/2014/11/19/bilamana-berhukum-dengan-selain-hukum-allah-dianggap-kufur-akbar/