Tatag Wiranto *)
Prolog
Sejak
awal 1990-an, Good Governance telah menjadi kredo baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Kendati demikian, masih terdapat beberapa
perbedaan penekanan, walaupun terdapat persamaan fokus dan ide utamanya. UNDP,
misalnya, memberikan penekanan khusus pada pembangunan manusia yang berkelanjutan,
pengentasan kemiskinan, dan transformasi
administrasi publik (UN Report, 1998). Sementara itu, Bank Dunia lebih
memberikan perhatian pada pendayagunaan sumber daya sosial dan ekonomi bagi
pembangunan. Sedangkan Organisation for Economic Cooperation dan Development
(OECD) menekankan pada penghargaan hak-hak asasi manusia, demokrasi dan
legitimasi pemerintah.
Secara
konseptual, Good Governance oleh UNDP dipahami sebagai implementasi
otoritas politik, ekonomi, dan administratif dalam proses manajemen berbagai
urusan publik pada berbagai level dalam suatu negara. Merujuk pada konsepsi
tersebut, Good Governance memiliki beberapa atribut kunci seperti
efektif, partisipatif, transparan, akuntabel, produktif, dan sejajar serta
mampu mempromosikan penegakan hukum. Di atas semua itu, atribut utama Good
Governance adalah bagaimana penggunaan kekuasaan dan otoritas dalam
penyelesaian berbagai persoalan publik. Dalam konteks itu, mekanisme kontrol (check and balance) perlu ditegakkan
sehingga tidak ada satu komponen pun yang memegang kekuasaan absolut. Salah
satu mekanisme yang digunakan adalah dengan menegakkan akuntabilitas sistem,
struktur, organisasi dan staf atas apa yang menjadi tanggung jawab, fungsi,
tugasnya yang antara lain terlihat dari perilaku atau budaya kerjanya.
Di
kebanyakan negara berkembang, perhatian utama terhadap Good Governance
dalam kaitan dengan penggunaan otoritas dan manajemen sektor publik, adalah
pervasifnya korupsi yang cenderung menjadi karakter tipikal yang melekat.
Bahkan di beberapa negara terbukti bahwa budaya korupsi telah begitu melekat di
dalam birokrasi pemerintah yang justru ditandai oleh kelangkaan sumber daya.
Dalam konteks itu, absennya akuntabilitas sangat menonjol dan menjadi satu
karakter dominan budaya administrasi selama periode tertentu.
Tiga Dimensi Akuntabilitas
Akuntabilitas
Politik, biasanya
dihubungkan dengan proses dan mandat pemilu, yaitu mandat yang diberikan
masyarakat kepada para politisi yang menduduki posisi legislatif dan eksekutif
dalam suatu pemerintahan. Masa jabatan kedua kekuasaan tersebut bersifat
temporer karena mandat pemilut sangat tergantung pada hasil pemilu yang
dilakukan pada interval waktu tertentu. Untuk negara-negara di mana mandat
pemilu mendapat legitimasi penuh (pemilu bersifat bebas dan hasilnya diterima
oleh semua pihak), masyarakat menggunakan hak suaranya untuk mempertahankan
para politisi yang mampu menunjukkan kinerja yang baik serta menjatuhkan
pemerintahan yang berunjuk prestasi buruk. Mandat elektoral yang kuat
memberikan legitimasi kepada pemerintah dan membantu menjamin kredibilitasnya,
di samping stabilitas dan prediktibilitas kebijakan yang diformulasikannya.
Akuntabilitas
Finansial, fokus
utamanya adalah pelaporan yang akurat dan tepat waktu tentang penggunaan dana
publik, yang biasanya dilakukan melalui laporan yang telah diaudit secara
profesional. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa dana publik telah
digunakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara efisien dan efektif.
Masalah pokoknya adalah ketepatan waktu dalam menyiapkan laporan, proses audit,
serta kualitas audit. Perhatian khusus diberikan pada kinerja dan nilai uang
serta penegakan sanksi untuk mengantisipasi dan mengatasi penyalahgunaan,
mismanajemen, atau korupsi. Jika terdapat bantuan finansial eksternal, misalnya
dari pinjaman lembaga keuangan multilateral atau melalui bantuan pembangunan
oleh lembaga donor, maka standar akuntansi dan audit dari berbagai lembaga yang
berwenang harus diperhatikan. Hal inilah yang kiranya dapat menjelaskan besarnya
perhatian pada standar akuntansi dan audit internasional dalam menegakkan
akuntabilitas finansial. Hasil dari akuntabilitas finansial yang baik akan
digunakan untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan mobilisasi dan alokasi
sumber daya serta mengevaluasi tingkat efisiensi penggunan dana. Hasil tersebut
juga dapat digunakan oleh masyarakat umum dan stakeholders (seperti donor) untuk menilai kinerja pemerintah
berdasarkan sasaran tertentu yang telah disepakati sebelumnya.
Akuntabilitas
administratif, merujuk pada kewajiban untuk
menjalankan tugas yang telah diberikan dan diterima dalam kerangka kerja
otoritas dan sumber daya yang tersedia. Dalam konsepsi yang demikian,
akuntabilitas administratif umumnya berkaitan dengan pelayan publik, khususnya
para direktur, kepala departemen, dinas, atau instansi, serta para manajer
perusahaan milik negara. Mereka adalah pejabat publik yang tidak dipilih
melalui pemilu tetapi ditunjuk berdasarkan kompetensi teknis. Kepada mereka
dipercayakan sejumlah sumber daya yang diharapkan dapat digunakan untuk
menghasilkan barang atau jasa tertentu.
Secara
umum, spektrum yang begitu luas telah menyebabkan digunakannya konsep
akuntabilitas secara fleksibel. Yang paling mudah adalah mengidentikkan
akuntabilitas pelayan publik dengan bentuk pertanggung jawaban mereka kepada
atasannya, baik secara politik maupun administratif.
Di tempat lain,
Polidano (1998) menawarkan kategorisasi baru yang disebutnya sebagai akuntabilitas
langsung dan akuntabilitas tidak langsung. Akuntabilitas tidak
langsung merujuk pada pertanggung jawaban kepada pihak eksternal seperti
masyarakat, konsumen, atau kelompok klien tertentu, sedangkan akuntabilitas
langsung berkaitan dengan pertanggung jawaban vertikal melalui rantai komando
tertentu.
Polidano lebih lanjut mengidentifikasi 3 elemen utama
akuntabilitas, yaitu:
q Adanya kekuasaan untuk
mendapatkan persetujuan awal sebelum sebuah keputusan dibuat. Hal ini berkaitan
dengan otoritas untuk mengatur perilaku para birokrat dengan menundukkan mereka
di bawah persyaratan prosedural tertentu serta mengharuskan adanya otorisasi
sebelum langkah tertentu diambil. Tipikal akuntabilitas seperti ini secara
tradisional dihubungkan dengan badan/lembaga pemerintah pusat (walaupun setiap
departemen/lembaga dapat saja menyusun aturan atau standarnya masing-masing).
q
Akuntabilitas peran, yang merujuk pada kemampuan seorang
pejabat untuk menjalankan peran kuncinya, yaitu berbagai tugas yang harus
dijalankan sebagai kewajiban utama. Ini merupakan tipe akuntabilitas yang
langsung berkaitan dengan hasil sebagaimana diperjuangkan paradigma manajemen
publik baru (new public management).
Hal ini mungkin saja tergantung pada target kinerja formal yang berkaitan
dengan gerakan manajemen publik baru.
q
Peninjauan ulang secara retrospektif yang mengacu pada
analisis operasi suatu departemen setelah berlangsungnya suatu kegiatan yang
dilakukan oleh lembaga eksternal seperti kantor audit, komite parlemen,
ombudsmen, atau lembaga peradilan. Bisa juga termasuk badan-badan di luar
negara seperti media massa dan kelompok penekan. Aspek subyektivitas dan
ketidakterprediksikan dalam proses peninjauan ulang itu seringkali bervariasi,
tergantung pada kondisi dan aktor yang menjalankannya.
Beberapa Metode Untuk Menegakkkan Akuntabilitas
Kontrol Legislatif: Di banyak negara, legislatif melakukan pengawasan terhadap jalannya
pemerintahan melalui diskusi dan sejumlah komisi di dalamnya. Jika
komisi-komisi legislatif dapat berfungsi secara efektif, maka mereka dapat
meningkatkan kualitas pembuatan keputusan (meningkatkan responsivitasnya
terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat), mengawasi penyalahgunaan kekuasaan
pemerintah melalui investigasi, dan menegakkan kinerja.
Akuntabilitas Legal: Ini merupakan karakter dominan dari suatu negara hukum. Pemerintah
dituntut untuk menghormati aturan hukum, yang didasarkan pada badan peradilan
yang independen. Aturan hukum yang dibuat berdasarkan landasan ini biasanya
memiliki sistem peradilan, dan semua pejabat publik dapat dituntut pertanggung
jawabannya di depan pengadilan atas semua tindakannya. Peran lembaga peradilan
dalam menegakkan akuntabilitas berbeda secara signifikan antara negara, antara
negara yang memiliki sistem peradilan administratif khusus seperti perancis,
hingga negara yang yang memiliki tatanan hukum di mana semua persoalan hukum
diselesaikan oleh badan peradilan yang sama, termasuk yang berkaitan dengan
pernyataan tidak puas masyarakat terhadap pejabat publik. Dua faktor utama yang
menyebabkan efektivitas akuntabilitas legal adalah kualitas institusi hukum dan
tingkat akses masyarakat atas lembaga peradilan, khususnya yang berhubungan
dengan biaya pengaduan. Institusi hukum yang lemah dan biaya yang mahal (tanpa
suatu sistem pelayanan hukum yang gratis) akan menghambat efektivitas akuntabilitas
legal.
Ombudsman: Dewan ombudsmen, baik yang dibentuk di dalam suatu konstitusi maupun
legislasi, berfungsi sebagai pembela hak-hak masyarakat. Ombudsmen
mengakomodasi keluhan masyarakat, melakukan investigasi, dan menyusun
rekomendasi tentang bagaimana keluhan tersebut diatasi tanpa membebani
masyarakat. Sejak diperkenalkan pertama kali di Swedia pada abad 19, Ombudsmen
telah menyebar ke berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang.
Secara umum, masyarakat dapat mengajukan keluhannya secara langsung kepada
lembaga ini, baik melalui surat maupun telepon. Di beberapa negara, misalnya
Inggris, Ombudsmen dilihat sebagai perluasan kontrol parlemen terhadap
eksekutif dan keluhan masyarakat disalurkan melalui anggota parlemen. Pada
hampir semua kasus, Ombudsmen melakukan tugas investigatifnya tanpa memungut
biaya dari masyarakat.
Desentralisasi dan Partisipasi: Akuntabilitas
dalam pelayanan publik juga dapat ditegakkan melalui struktur pemerintah yang
terdesentralisasi dan partisipasi. Terdapat beberapa situasi khusus di mana
berbagai tugas pemerintah didelegasikan ke tingkat lokal yang dijalankan oleh
para birokrat lokal yang bertanggung jawab langsung kepada masyarakat lokal.
Legitimasi elektoral juga menjadi faktor penting seperti dalam kasus pemerintah
pusat. Tetapi cakupan akuntabilitas di dalam sebuah sistem yang
terdesentralisasi lebih merupakan fungsi otonomi di tingkat lokal. Itupun
sangat bervariasi secara signifikan sesuai derajat otonomi yang diperoleh, dari
otonomi yang sangat luas seperti di AS hingga otonomi terbatas yang umum
dijumpai di negara-negara berkembang. Ketergantungan yang tinggi terhadap NGOs
dan berbagai organisasi dan koperasi berbasis masyarakat dalam penyediaan
pelayanan publik menjadi salah satu perkembangan yang menjanjikan bagi
terwujudnya manajemen publik yang terdesentralisasi dan bertanggung jawab.
Kontrol Administratif Internal: Pejabat publik yang diangkat
sering memainkan peran dominan dalam menjalankan tugas pemerintahan karena
relatif permanennya masa jabatan serta keterampilan teknis. Biasanya,
kepala-kepala unit pemerintahan setingkat menteri diharapkan dapat
mempertahankan kontrol hirarkis terhadap para pejabatnya dengan dukungan aturan
dan regulasi administratif dan finansial dan sistem inspeksi. Untuk negara-negara
dengan struktur administratif yang lemah, terutama di negara-negara berkembang
dan beberapa negara komunis, metode kontrol tersebut memiliki dampak yang
terbatas. Masalah ini disebabkan karena hubungan yang kurang jelas antara
kepemimpinan politik yang bersifat temporer dan pejabat publik yang diangkat
secara permanen. Jika mereka melakukan persekongkolan, akuntabilitas tidak bisa
diwujudkan (hal ini juga terjadi sejak lama di negara-negara maju) dan jika
mereka terlibat dalam konflik, maka yang menjadi korban adalah kepentingan
publik.
Media massa dan Opini Publik: Hampir di semua konteks,
efektivitas berbagai metode dalam menegakkan akuntabilitas sebagaimana
diuraikan di atas sangat tergantung tingkat dukungan media massa serta opini
publik. Tantangannya, misalnya, adalah bagaimana dan sejauhmana masyarakat
mampu mendayagunakan media massa untuk memberitakan penyalahgunaan kekuasaan
dan menghukum para pelakunya. Terdapat 3 faktor yang menentukan dampak aktual
dari media massa dan opini publik. Pertama, kebebasan berekspresi dan
berserikat harus diterima dan dihormati. Di banyak negara, kebebasan tersebut
dilindungi dalam konstitusi. Derajat penerimaan dan rasa hormat umumnya dapat
diukur dari peran media massa (termasuk perhatian terhadap pola kepemilikan)
dan pentingnya peran kelompok kepentingan, asosiasi dagang, organisasi wanita,
lembaga konsumen, koperasi, dan asosiasi profesional. Kedua, pelaksanaan
berbagai tugas pemerintah harus transparan. Kuncinya adalah adanya akses
masyarakat terhadap informasi. Hal ini harus dijamin melalui konstitusi
(misalnya, UU Kebebasan Informasi) dengan hanya mempertimbangkan pertimbangan
keamanan nasional (dalam pengertian sempit) dan privasi setiap individu.
Informasi yang dihasilkan pemerintah yang seharusnya dapat diakses secara luas
antara lain meliputi anggaran, akuntansi publik, dan laporan audit. Tanpa akses
terhadap beragai informasi tersebut, masyarakat tidak akan sepenuhnya menyadari
apa yang dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah dan efektivitas media massa
akan sedikit dibatasi. Ketiga, adanya pendidikan sipil yang diberikan
kepada warga negara, pemahaman mereka akan hak dan kewajibannya, di samping
kesiapan untuk menjalankannya¡
Referensi
OECD Ministerial Symposium on the Future
of Public Services, diselenggarakan di Paris, Maret 1996.
Agere, S., Promoting Good Governance. Commonwealth Secretariat Marlborough
House Pall Mall, London, 2000.
World Bank, “Strengthening Local
Government in Sub-Saharan Africa,” EDI
Policy Seminar Report No. 21, Washington DC, 1989.
World Bank, Governance and Development, Washington, D.C., 1992.
Polidano, C., “Why Bureaucrats Can’t
Always Do What Ministers Want: Multiple Accountabilities in Westminster
Democracies.” Public Policy and
Administration 13, No. 1, Spring 1998, p 38.
*) Ir. Tatag Wiranto, MURP adalah Direktur Kerja
Sama Pembangunan Sektoral dan Daerah Bappenas dan Kandidat Doktor pada Program
Pascasarjana Program Studi Administrasi Publik Unive. Gadjah Mada-red
0 komentar:
Posting Komentar